Senin, 03 Agustus 2015

MENGENAL GROUPTHINK HYPOTHESES



 By Cosgathar

Groupthink adalah sebuah situasi dimana terjadi kemerosotan efisiensi  mental,  pengujian realitas, dan penilaian moral yang disebabkan oleh tekanan-tekanan kelompok. Groupthink menujuk pada  suatu mode berfikir sekelompok  orang yang kohesif, mencapai kebulatan suara dengan  mengesampingkan  motivasi mereka guna menilai alternatif-alternatif  tindakan secara realitas (Janis: 1972). Dalam groupthink, seorang anggota kelompok ‘terpaksa’ untuk sepakat dengan pendapat kelompok  meskipun sebenarnya ia tidak sepenuhnya setuju  dengan keputusan yang diambil oleh kelompok tersebut. Kelompok yang terpengaruh oleh groupthink akan cenderung  mengabaikan alternatif untuk mengambil tindakan yang irasional kasar dari kelompok lain. Anggapan yang  positif terhadap kelompoknya sendiri telah menyebabkan anggota kelompok  melumpuhkan pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat yang kritis. Hal ini muncul karena anggota kelompok tersebut biasanya  terlalu loyal dan terlalu kohesif terhadap kelompoknya.
Contoh kasus groupthink adalah keputusan presiden Soekarno untuk melakukan konfrontasi “Ganyang Malaysia” tahun 1964.  Pada  tanggal 29 Agustus 1964, Kuala Lumpur dan London menumumkan  pembentukan Malaysia. Bung Karno  langsung menanggapi nya dengan mengambil garis keras. Menurutnya, pembentukan negara Malaysia  melanggar tiga hal: tidak demokratis, bertentangan dnegan KTT Manila, dan bertentangan dnegan resolusi dekolonisasi PBB.  Bung Karno kemudian mengumumkan “ganyang Malaysia” dengan mencanangkan Dwikora (Dwi Komando Rakyat), yaitu: pertinggi pertahanan revolusi Indonesia dan bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah menghancurkan Malaysia. Maka, dimulailah aksi-aksi infiltrasi ABRI dan sukarelawan-sukarelawan ke semenanjung Malaya dan bagian utara Borneo.
Pada waktu itu beberapa elemen dalam pemerintahan termasuk para petinggi Angkatan Darat tidak setuju dengan ide Soekarno itu. Beberapa perwira ABRI menilai konfrontasi dengan Malaysia hanya akan menghabiskan anggaran belanja ABRI. Sementara situasi perekonomian dalam negeri sangat sulit. Beni Moerdani, perwira penanggungjawab pengiriman infiltran, mengatakan bahwa program Ganyang Malaysia tidak begitu menguntungkan bagi Indonesia dilihat dari  faktor kesiapan tempur dan keadaan ekonomi Indonesia; beberapa perwira tinggi ABRI tahu benar kenyataan itu. Tapi, siapa yang berani melawan keinginan Soekarno? Sosok yang begitu berpengaruh di pelosok negeri, yang setiap berpidato sanggup membangkitkan semangat juang seluruh rakyat. Seluruh petinggi negara saat itu begitu terpukau dengan kredibilitas Soekarno, sang pemimpin besar revolusi. Mengungkapkan sedikit ketidaksetujuannya terhadap pendapat Bung Karno sama saja dengan menghadapi sejuta pendukung setianya yang sangat loyal. Bisa-bisa dianggap sebagai penghianat revolusi.
Di sinilah, lingkaran dekat Soekarno (para penasihat, petinggi militer, menteri dan para Waperdam-Wakil Perdana Menteri) termakan oleh groupthink. Diskusi-diskusi mereka yang langsung dipimpin oleh Soekarno dilandasi oleh suatu derajat kepaduan dan esprit de corps yang tinggi sehingga  melumpuhkan pemikiran-pemikiran  dan perbedaan pendapat yang kritis. Kehadiran tentara Indonesia di Malaysia  (dimulai dengan infiltrasi) diharapkan dapat menumbuhkan semangat juang penduduk Serawak, Singapura, dan Malaya untuk melawan Inggris sehingga dapat mencegah terbentuknya federasi Malaysia. Tapi nyatanya misi itu gagal. 
Secara umum, faktor-faktor yang mendorong terjadinya groupthink dapat dikelompokkan  menjadi tiga, yaitu: kohesivitas kelompok, kesalahan struktur dalam organisasi dan konteks situasi provokatif. Ketiga kelompok suasana inilah yang mendahului munculnya groupthink. Kohesivitas merunjuk pada kohesivitas sebuah kelompok yang tinggi  sehingga masing-masing anggota merasa sudah menyatu dan sangat padu. Yang termasuk dalam kesalahan struktur organisasi adalah kelompok yang tertutup - terisolasi dari luar seperti kapsul, kepemimpinan yang berpihak, tidak adanya aturan prosedur secara metodik, dan latar belakang kelompok elit yang terlalu homogen.  Sedangkan  yang termasuk dalam  konteks situasi provokatif antara lain: tekanan dari luar yang tinggi dan tak ada solusi yang lebih baik dari pada sang pemimpin, dan penghargaan diri yang rendah.
Ketika sebuah kelompok berada dalam situasi tersebut, biasanya kelompok akan melakukan   pencarian kesepakatan-kesepakatan dan kerukunan. Pemimpin  kelompok akan berusaha meminimalisir  ketidaksepakatan anggotanya. Konflik ditekan sedemikian rupa sehingga akan muncul konsekuensi berupa groupthink.  Yang perlu dicatat, tidak semua keputusan yang diambil dalam keadaan groupthink akan menghasilkan keputusan yang buruk. Dalam kondisi  tertentu, keputusan yang diambil dalam suasanan groupthink justru sangat tepat dan dibutuhkan.
Terjadinya groupthink ditandai dengan beberapa gejala yang dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu: I. Overestimation  of the group (merasa paling hebat),  II. Closed-mindedness (pikiran yang picik), III. Pressures toward uniformity (menekankan keselarasan).  Yang termasuk dalam Overestimation of the group adalah Illution of invulnerability (ilusi kekebalan, yang merupakan optimisme yang berlebihan yang ditandai dengan  munculnya perasaan tidak bersalah. Biasanya  anggota cenderung  mengabaikan bahaya dan  mengambil risiko ekstrim) dan Belief in inherent morality of the group (kepercayaan akan superioritas moral kelompok, dimana anggota percaya keputusan mereka adalah benar secara moral, mengabaikan etika konsekuensi dari keputusan mereka). Sedangkan yang termasuk dalam Closed-mindednesss adalah Colective rationalization (rasionalisasi atas tindakan yang diputuskan, ditandai dengan mencari pembenaran ketika dikritik) dan stereotypes of out-groups (membuat stereotip negatif tentang kelompok-kelompok luar  sebagai jahat,  lemah, dan bodoh). Dan yang termasuk dalam tipe Pressure toward uniformity antara lain: self cencorship (sensor diri), illusion of unanimity (ilusi persetujuan dan kebulatan suara, yang memandang semua anggota mengamini keputusan kelompok, yang ‘diam’ diangga menyetujui keputusan), direct pressure on dissenters (tekanan langsung kepada angota kelompok yang berbeda pendapat/ membangkang, oposisi dilihat sebagai ketidaksetiaan), dan self-appointed mindguards (munculnya pembela-pembela kputusan  atas inisiatif sendiri untuk melindungi  kelompok dan pemimpin dari  pendapat yang merugikan, informasi yang tidak diiinginkan, dan kritik. Gejala-gejala tersebut saling berkaitan dan menunjang satu sama lainnya.
Ketika melakukan pengambilan keputusan, anggota kelompok biasanya mempunyai ilusi kekebalan, suatu keyakinan bahwa kegagalan itu tak mungkin terjadi. Hal ini menyebabkan mereka cenderung mengabaikan informasi-informasi yang  membangkitkan perhatian terhadap bahaya yang mungkin terjadi. Dalam kasus ini, Soekarno dan lingkaran mengabaikan bahwa tentara Inggris telah bersiap dengan  80.000 pasukannya di perbatasan. Soekarno juga tidak begitu memperhitungkan apa komentar dan kecaman dari negara-negara asing terhadap tindakan menyerang Malaysia yang justru akan memberikan cap Indonesia sebagai negara agresor, penjajah baru.
Menurut Beni Moerdani, sebenarnya posisi ABRI selama berlangsungnya kebijakan Ganyang Malaysia serba sulit. Mereka merasa harus mendukung  setiap implementasi kebijakan politik luar negeri yang diambil oleh Soekarno.  Kebijakan yang dilandasi  anggapan bahwa Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara, membawa implikasi ABRI harus mampu berperan dalam percaturan politik dunia.  Namun di sisi lain, pimpinan ABRI sangat sadar bahwa musuh yang dihadapi sangat kuat. Pasukan Inggris dibantu oleh Australia dan Selandia Baru, yang sejak awal berjanaji akan mempertahankan Malaysia. Kalau sampai terjadi perang terbuka mungkin Indonesia kalah, tapi kalau menerapkan perang gerilya kemungkinan besar kita masih bisa bertahan.
Oleh karena itu, para petinggi militer sebenarnya telah memberikan peringatan kepada Soekarno, tapi Soekarno tetap pada keputusannya. Tapi karena peringatan itu tidak bisa diabaikan seluruhnya, Soekarno dan lingkaran dekatnya melakukan rasionalisasi, sebagai sebuah mekanisme  pertahanan yangmemungkinkan  mereka mendistorsi informasi  yang tidak dikehendaki.
Gejala lain dari groupthink yang nampak dalam ‘Ganyang Malaysia’ adalah kepercayaan terhadap superioritas kelompok. Kelompok Soekarno mereasa mereka sebagai agen-agen kebajikan yang berkewajiban membebaskan rakyat Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah dari belenggu neo-kolonialisme (nekolim).  Mereka menganggap diri mereka bermoral luar biasa, sampai-sampai mereka tak segan  melakukan tindakan ofensif, seperti infiltrasi dan penyerbuan  ke wilayah-wilayah  Malaysia dan Singapura. Soekarno pun mempunyai stereotif-stereotif  terhadap kelompok musuh atau saingan. Soekarno menyebut Inggris dan negara bentukannya, Malaysia sebagai nekolim dan antek-antek nekolim.       
Tekanan-tekanan langsung juga dialami kelompok Soekarno. Jenderal Ahmad Yani (Men PangAD) mengakui sekalipun secara pribadi ia tidak setuju dengan kebijakan ‘Ganyang Malaysia’, ia tidak punya kuasa untuk menghentikan kebijakan itu. Dengan demikian Yani dan kelompoknya melakukan sensor diri  yang memungkinkan kelompok mempunyai ilusi kebulatan suara sehingga setiap anggota kelompok  hanya dapat berdiam diri.  Layalitas dan kekaguman anggota lingkaran dalam Soekarno terhadap wibawa, though, dan kepopuleran Soekarno mampu memperkuat ilusi persetujuan dan kebulatan suara tersebut.
Dalam lingkaran dalam Soekarno juga terdapat mindguards yang menetralisir  setia keraguan yang muncul. Orang-orang seperti Subandrio (Menlu) dan DN. Aidit (Waperdam) adalah tokoh-tokoh pembela Soekarno yang senantias berusaha meyakinkan  anggota-anggota lainnya untuk setuju dengan keputusan kelompok. Aidit bahkan siap menyediakan sukarewan-sukarewan dari partainya yang akan membantu militer menyusup ke Malaysia.
Melihat apa yang telah saya uraikan di atas,  terlihat jelas  bahwa kebijakan ‘Ganyang Malaysia’ yang di keluarkan oleh Bung Karno sebagai reaksi terhadap dibentuknya federasi Malaysia oleh Inggris, merupakan pengaruh dari groupthink. Gejala-gejala yang sebutkan Janis sebagai gejala groupthink muncul dalam proses pengambilan kebijakan Ganyang malaysia oleh Soekarno.
Untuk  mencegah terjadinya keputusan atau tindakan yang negatif dalam groupthink, maka yang paling utama perlu diketahui oleh kelompok adalah mengetahui penyebab dan konsekuensi dari grupthink. Selain itu, Groupthink bisa dihindari apabila The leader should be neutral when assigning a decision-making task to a group, initially witholding all preferences and expectations. para pemimpin bersikap netral ketika memberikan sebuah keputusan tugas ke grup, awalnya witholding semua preferensi dan harapan. This practice will be especially effective if the leaders consistently encourages an atmosphere of open inquiry. Praktek ini akan dirasakan sangat efektif jika pemimpin secara konsisten mendorong suasana terbuka pertanyaan. Para pemimpin harus memberikan prioritas tinggi untuk pernyataan  keberatan dan meragukan, dan yang akan menerima kritikan. Kelompok harus selalu mempertimbangkan pendapat tidak populer alternatif dengan  menempatkan peran devil's advocate kuat dari beberapa anggota kelompok (meskipun mereka sebenarnya setuju). Kadang-kadang sangat berguna untuk membagi kelompok menjadi dua kelompok terpisah sebagai badan penasihat  dan evaluasi. Melakukan survei terhadap semua peringatan atau informasi-informasi dari saingan grup dan organisasi. Keputusan-keputusan yang diambil dilakukan secara bertahap, tidak sekaligus. Mengundang ahli-ahli dari  luar untuk memberikan masukan-masukan penting sebelum memutuskan suatu kebijakan.
Kritik terhadap teori ini adalah bahwa Janis menguji hipotesis groupthink di laboratorium sebelum mengujinya di lapangan. Di laboratorium akan sangat sulit mengetahui tingkat cohesiveness yang ada dalam suatu kelompok. Disamping itu, Janis tidak menyebutkan  kriteria spesifik untuk groupthink asli sehingga sulit untuk mengujinya. Namun, saat ini beberapa peneliti telah berusaha untuk mengembangkan skala untuk menguji groupthink.
Lalu, apa relevansi teori ini dalam konteks Indonesia? Mempelajari groupthink akan membuka wawasan kita mengenai proses pengambilan keputusan-keputusan penting terjadi.  Kita bisa mempelajari dan mengetahui sejauh mana kohevisitas kelompok mempengaruhi keputusan kelompok tersebut. Bagaimana kelompok-kelompok kohesif membuat keputusan-keputusan yang keliru dan lain-lain. Dengan demikian, kita bisa mempelajari bagaimana sebuah keputusan akhirnya diputuskan. Banyak keputusan penting di Indonesia yang sebenarnya terpengaruh oleh groupthink. Hal ini tidak lepas dari budaya kita yang cenderung paternalistik dimana kelompok menempatkan sang patron sebagai orang yang “lebih” dari anggota lainnya. Konsekuensinya, apapun yang dikatakan sang patron adalah benar. Berbeda pendapat dengan sang patron bisa diartikan merongrong atau berkhianat.



Daftar Pustaka:
-          Irving Janis, Groupthink, 2d ed., Houghton Mifflin, Boston, 1982.
-          Griffin, EM, A First Look At Communication Theory, 6th ed., Mc Graw Hill, New York, 2006
-          Mulyana, Dedy, Nuansa-Nuansa Komunikasi, bandung, 1999

-          Pour, Julius, Beny, Tragedy Seorang Loyalis, KATA, Jakarta, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar