Senin, 03 Agustus 2015

MEMBANGUN CITRA DIRI TELEVISI, Sebuah Alternatif Manajemen Media Televisi


Oleh: Cosgathar



Televisi adalah salah satu temuan manusia yang mempunyai berpengaruh sangat luar biasa dalam kehidupan manusia. Ia menghasilkan sejuta efek, baik yang positif maupun negatif, bagi manusia. Televisi mempunyai kemampuan menjangkau seluruh penduduk secara cepat dan mempengaruhi gaya hidup dan alam pikiran manusia. McLuhan menyebut televisi sebagai: (a) Hot media, panas dan memanaskan; yang datang dengan cepat, sukar dirujuk dan  berpotensi tinggi mendorong dan menggerakkan tindakan spontan secara bersama, (b) global village atau Sumber “dusun global”: pencitraan, persepsi, informasi kasar, sederhana. Kehadirannya di tengah ruang keluarga sangat masif, rasanya sulit mencegah hegemoni televisi terhadap kehidupan kita. Oleh karena itu media televisi (rawan) menjadi barang rebutan bagi kepentingan-kepentingan tertentu  sebagai alat  dominasi ekonomi, politik, informasi, budaya dan sosial.
Bila melihat acara-acara televisi di Indonesia, secara jelas dapat kita lihat adanya kecenderungan keseragaman acara. Hampir semua stasiun televisi menyiarkan acara-acara yang mempunyai karakteristik yang sama. Di stasiun A ada acara music live, di stasiun B, C, dan yang lainya ada juga, bahkan nyaris sama packaging-nya. Kalaupun ada perbedaan, perbedaan itu tidak secara kuat mencirikan bahwa acara itu beda dengan acara sejenis di stasiun lain. Ketika sedang heboh acara sinetron percintaan, semua stasiun menyiarkan sinetron percintaan, ketika heboh sinetron misteri, semua menyiarkannya, atau ketika heboh acara live music, semua melakukan hal yang sama.
Kalau hanya kebetulan saja sama, tidak begitu menjadi masalah. Tapi kalau kecenderungan itu adalah karena meniru atau ikut arus, maka kecenderungan ini mencerminkan bahwa pengelolaan atau manajemen media telivisi di Indonesia belum menjalankan perannya secara maksimal karena masih mengandalkan kemampuan meng-copy bukan orisinalitas suatu program. Padalah orisinalitas sangat menentukan kualitas dari program itu sendiri. Ketika stasiun A membangun suatu program tanpa mencontek program stasiun lain dan ternyata diterima dan menjadi acara favorite penonton, dengan sendirinya akan menjadi kredit point tersendiri bagi stasiun tv tersebut. Orang akan mengingat bahwa stasiun A mempunyai kemampuan untuk membangun program yang berkualitas. Pada saatnya nanti, ketika akan membuat program-program lainnya, stasiun itu akan terbantu oleh image yang telah melekat di benak penonton terhadap stasiun tv mereka. Image atau citra ini dapat digunakan sebagai strategi untuk memagari penonton sehingga tidak lari ke stasiun lain.
Arti pentingnya  image atau citra terletak pada cap-cap yang melekat pada diri stasiun tersebut yang dengan sendirinya mampu mempengaruhi penonton menentukan jenis informasi apa yang dia inginkan dan melalui stasiun televisi mana dia percaya untuk memperolehnya. Stasiun televisi A adalah stasiun anak-anak, stasiun televisi B adalah tivi hiburan, atau stasiun televisi C adalah stasiun televisi berita. Ketika orang ingin melihat berita, maka ia sudah pasti akan melihat stasiun televisi C karena dia benar-benar ‘mumpuni’ di pemberitaan  (cover both side, independen, tidak ada kepentingan, dll.), atau kalau ingin melihat acara-acara hiburan, orang akan memilih stasiun televisi B, karena stasiun iut menampilkan acara-acara yang menarik, kreatif dan menghibur, dan seterusnya. 

Seperti Apa Manajemen Media Televisi?
Bicara mengenai manajemen, perhatian kita selalu terarah pada bagaimana merencanakan, mengorganisasikan dan mengelola sesuatu memberikan nilai lebih (baca: keuntungan). Manajemen selalu berkaitan dengan organisasi. Manajemen merujuk pada  pengelolaan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan tertentu. Nickels, McHugh and McHugh (1997) mendefinisikan manajemen sebagai “The process used to accomplish organizational goals thorugh planning, organizing, diricting, and controlling people and other organizational resources” atau sebuah proses yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan organisasi melalui rangakian kegiatan berupa perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian orang-orang serta sumber daya organisasi lainnya.
Biasanya untuk mencapai hasil yang diinginkan, manajemen dilakukan dengan memompa produktivitas dengan menekan resources sehingga menampilkan sebuah pola kerja yang efisien dan tepat guna. Dalam  media televisi pun demikian. Manajemen media selalu dikaitkan dengan bagaimana sebuah stasiun televisi dapat memproduksi dan atau  menyiarkan acara dengan baik, sementara pengeluaran yang dikeluarkan se-sedikit mungkin. Itulah hukum ‘ekonomis’, pengeluaran se-sedikit mungkin, untuk hasil yang sebesar-besarnya.
Untuk dapat bertahan hidup, tentu hukum ‘ekonomis’ ini sangat berguna bahkan mungkin menjadi syarat mutlak. Produksi-produksi acara dipersingkat durasinya, pengurangan budget-budget yang tidak mendesak dan sifatnya komplementer, cari arti-artis yang murah bayarannya, atau justru mengorbit arti-artis baru, dan seterusnya,  adalah beberapa langkah yang biasanya dilakukan manajemen televisi untuk mengurangi resiko merugi.
Trend manajemen media yang saat ini sedang menggejala di dunia adalah konsentrasi kepemilikan. Di indonesia ada group MNC yang menguasai tiga stasiun televisi nasional, beberapa stasiun televisi lokal, media cetak, dan beberapa  stasiun radio. Kemudian ada PARA group, SCM, dan masih banyak group-group lain yang pada intinya mengkonsetrasikan kepemilikan saham beberapa media pada satu kelompok. Kebijakan  ini berkaitan dengan bagaimana memaksimalkan keuntungan dengan memanfaatkan resources yang ada.

Apa Itu Cita Televisi dan Bagaimana Membangun Citra Televisi?
Seperti yang telah diterangkan di awal paper ini, televisi sebagai salah satu bentuk media massa mempunyai pengaruh yang kuat tehadap masyarakat dan budaya.  Televisi tidak hanya memiliki efek langsung terhadap individu, tetapi juga mempengaruhi kultur, pengetahuan kolektif dan norma serta nilai-nilai dalan suatu masyarakat.  Televisi menghadirkan seperangkat citra (images), gagasan, dan evaluasi (De Fleur, 1982).
Citra sebuah perusahaan di mata publik dapat terlihat dari pendapat atau pola pikir komunal pada saat mempersepsikan  realitas yang terjadi (Silih Agung Wasesa, 2006). Realitas yang bisa didapatkan dari media massa atau media-media lainnya yang berhubungan langsung dengan publik, bisa mewakili persepsi yang lebih besar  atau masif, yakni masyarakat. Singkatnya, citra perusahaan terbentuk oleh adanya intraksi  persepsi (yang berkembang dalam benak publik) dengan realitas (yang muncul di media).
Masing-masing individu mempunyai persepsinya sendiri tentang suatu realitas yang sama. Philip Kotler mendefinisikan  persepsi sebagai sebuah proses dimana seseorang melakukan seleksi, organisasi, dan intepretasi terhadap informasi-informasi yang masuk ke dalam pikirannya menjadi sebuah gambar besar yang memiliki arti, persepsi tidak hanya tergantung pada stimuli fisik saja, tetapi sangat dipengaruhi oleh adanya konteks situasi dan kondisi yang dimiliki individu secara pribadi. Oleh karena itu untuk memperoleh citra yang diinginkan oleh perusahaan, manajemen harus  memahami secara menyeluruh bagaimana proses seleksi terhadap informasi tentang realitas itu terjadi.
Citra perusahaan akan terbentuk sangat ditunjang oleh kemampuan membangun persepsi audience berdasarkan realitas yang ada.  Persepsi tidak bisa dibangun dengan dasar realitas yang rapuh.  Persepsi, realitas dan citra mempunyai hubungan postif yang tumbuh di atas fondasi kredibilitas. Informasi tentang realitas yang kredibel mendasari terbentuknya persepsi masyarakat terhadap media sehingga pada gilirannya membentuk suatu citra media yang kuat.  Citra pada gilirannya akan menumbuhkan fanatisme dalam arti luas di kalangan masyarakat, seperti: munculnya penonton –penonton setia, fans, dll.
Dalam dunia televisi citra ada untuk menjaring sekaligus melayani penonton. Ia dapat dihadirkan melalui segala program yang disiarkan oleh televisi itu. Stasiun televisi bisa menghadirkan acara yang menarik perhatian dan  sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Kemudian ditentukan kapan disiarkan, apakah sore, siang atau malam. Pemilihan waktu tayang yang tepat tidak kalah penting dengan kontent dari acara tersebut. Hal ini terkait dengan pola kerja masyarakat dimana pada jam-jam tertentu seseorang tidak punya akses ke televisi karena sedang bekerja. Misalnya, untuk acara anak-anak biasanya disiarkan pagi hari, untuk laki-laki biasanya diatas tujuh malam, dan sebagainya. Tim scedulling memegang peranan penting karena dia harus bisa memetakan penonton.
Yang tak kalah penting adalah memperhatikan kebiasaan penonton yang pindah channel. Kalau acara di satu stasiun televisi tidak menarik, dengan mudah dia akan pindah ke stasiun lain dengan cepat, tinggal pencet tombol remote saja.  Media harus pandai-pandai dalam memahami kecenderungan penonton yang mempunyai kebiasaan memilah-milah informasi berdasarkan kepentingan pribadi mereka dengan program-program yang menarik. Seorang ibu rumah tangga tidak mungkin menyukai acara dialog politik yang kaku. Makan kalau yang menjadi sasaran penontonnya adalah ibu rumah tangga, acara jangan dibuat dengan  packaging dialog politik yang kaku.
Proses pemilihan acara yang akan ditayangkan oleh stasiun televisi menjadi proses yang krusial dalam pembangunan citra televisi. Sebuah stasiun yang membidik citra-nya sebagai stasiun televisi educatif, tidak mungkin menayangkan acara yang berkaitan dengan misteri ataupun takhayul. Bagaimana akan dipercaya sebagai stasiun televisi yang ikut mendidik masyarakat kalau yang ditayangkan adalah misteri-misteri yang justru membawa penontonnya set-back ke pemikiran-pemikiran irasional. Penonton dengan mudah akan ganti channel atau bahkan tidak percaya lagi dengan stasiun televisi tersebut sehingga tidak akan pernah mau lagi nonton segala acara di stasiun televisi tersebut. Seharusnya kalau menginginkan citra televisi educatif, stasiun televisi menayangkan acara-acara yang benar-benar mendidik, bukan sebaliknya.
Di sini terlihat, citra televisi tidak pernah lepas dari apa visi dan misi dari pendirian stasiun televisi tersebut; karena pada dasarnya citra adalah konsistensi dari visi dan misi yang telah dicanangkan di awal berdirinya sebuah stasiun televisi.  Kalau visi dan misi stasiun televisi adalah entertainment, jika dilaksanakan dengan benar (artinya segala acara yang disiarkan benar-benar terkait dengan entertainment) maka akan diperoleh sebuah citra entertainment. Jadi sebenarnya citra dapat dibangun dari awal berdirinya sebuah stasiun televisi. Ia tumbuh bersama dengan visi-misi yang dicanangkan kemudian dipupuk oleh pengelolaan program (programming), jam tayang (schedulling)  yang benar, dan tentu saja format tayangan (packaging) yang tepat pula.
Stasiun televisi harus memperhatikan apa yang menjadi program unggulan mereka. Mereka harus menyiapkan  program-program (baik interaktif maupun non interaktif) yang disukai oleh masyarakat sehingga stasiun mereka selalu menjadi piliha pertama begitu penonton menghidupkan televisi. Program-program ini pada gilirannya akan mendongkrak rating karena orang setia menonton acara televisi tertentu. Bagaimana membuat acara yang membuat penonton menjadi serasa ikut memiliki stasiun televisi itu (acara-acara interaktif). Di sini kemampuan untuk menjaga dan membangun komunitas penonton sangat diperlukan. Bagaimana suatu acara dibangun sebagai sebuah lanjutan dari acara-acara yang telah disiarkan sebelumnya. Ada kesinambungan yang mampu menjaga komunitas penonton.

Melalui Public Relation?
Di luar semua yang telah dijelaskan di atas, sebenarnya ada satu jalur lagi dalam membangun citra diri televisi, yaitu dengan memanfaatkan  fungsi Public Relation. Peran ini memang tidak bisa begitu maksimal karena sesuai dengan kaidah penyiaran, televisi tidak bisa menceritakan kehebatannya sendiri melalui televisi mereka sendiri. Tapi televisi masih bisa melakukan banyak hal untuk membangun citra mereka melalui fungsi Public Relation, antara lain:  memanfaatkan media lain (seperti: media cetak, radio, atau internet/website), melakukan reportase kepentingan publik untuk memperoleh simpati publik , mengadakan program off-air,  atau melakukan kerjasama dengan merek lain (Co-branding).
Sebuah stasiun televisi bisa melakukan kerjasama dengan media massa lainnya untuk memperkuat image mereka. Di media cetak, sebuah stasiun televisi bisa membuat iklan-iklan di media cetak untuk menumbuhkan kesan di masyarakat bahwa stasiun tersebut mempunyai citra edukatif, entertainmen, atau yang lainnya.  Iklan-iklan ini dibuat sedemikian rupa sehingga menampilkan citra yang diinginkan dari stasiun televisi itu. Melalui media radio, televisi  bisa bekerjasama menyiarkan suatu acara secara bersamaan. Ini sangat membantu dalam memperluas jangkauan siaran. Misalnya, Liputan 6 SCTV selain bisa dilihat melalui layar kaca, tapi di saat bersamaan bisa di dengarkan di radio Smart FM sehingga orang-orang di tempat-tempat  yang tidak terjangkau oleh siaran SCTV tetap bisa mengakses liputan 6, atau bagi yang sedang mengendarai mobil, tetap bisa mendapatkan informasi dari liputan 6 melalui radio mobil. Sedangkan melalui  internet televisi bisa membangun website yang bisa mendokumentasikan apa yang telah disiarkan sebelumnya. Kemajuan tehnologi, memungkinkan siaran yang telah disiarkan disimpan dan mudah diakses untuk dapat melihat kembali apa yang disiarkan. Ini mempermudah orang yang belum sempat melihat siaran langsungnya. Disamping itu, manajemen juga bisa melakukan intervensi untuk menaikan cintra televisi.
Untuk memperoleh simpati publik, stasiun televisi bisa melakukan reportase besar-besaran dengan mengungkap penemuan-penemuan penting dilapangan yang sifatnya kontroversial. Misalnya, TransTV sangat getol menyiarkan adanya formalin pada tahu dan bakso. Dengan melakukan investigasi yang mendalam dan dilengkapi dengan candid cammera, mengekpose apa yang sebenarnya terjadi dalam pengolahan makanan yang selama ini mungkin menjadi makanan favorite masyarakat Indonesia. Laporan investigasi tersebut sangat menyetuh hati penonton dan menimbulkan simpati yang luas. Stasiun TransTV kemudian dianggap mempunyai citra yang baik karena mempunyai kepedulian dan memperhatikan kepentingan publik.
Program-program off-air menjadi penting karena keingintahuan masyarakat akan apa yang terjadi di balik layar televisi itu seperti apa. Orang  selama ini hanya tahu tentang  tayangan-tayangan yang sudah ditayangkan saja, mereka tidak tahu  bagaimana dan apa yang dilakukan sehingga sebuah acara dapat disiarkan. Stasiun televisi bisa membuat program-program yang menerima kunjungan dari publik ke perusahaan untuk sekedar melihat apa yang terjadi di dalam dunia pertelevisisan.
Stasiun televisi juga bisa memanfaatkan co-branding dengan melakukan kerjasama dengan even-even baik lokal, nasional maupun internasional, entah itu dalam bentuk sponsorship, event organizer, atau yang lainnya. Misalnya, Trans7 memilih menjadi saluran Lega Calcio Serie A Italia melalui kerjasama dengan PT. Djarum sebagai sponsorshipnya, Global TV memilih menjadi saluran Formula 1, RCTI memilih  American Idol, dan lain-lain.

Kesimpulan Sebagai Penutup
Citra adalah seperangkat nilai yang melekat pada televisi. Ia mencerminkan seperti apa sebenarnya stasiun televisi itu bergerak. Apapun yang disiarkan televisi  akan ada dalam benak penonton dan pada gilirannya akan menumbuhkan penilaian terhadap televisi itu sendiri. Seberapun hebatnya sebuah stasiun televisi kalau tidak memperhatikan citra, maka lambat laun stasiun televisi itu akan ditinggalkan. Manusia  sangat kejam dengan remot kontrolnya. Ketika ia sudah tidak suka dengan acara yang ditontonya, ia akan segera memindahkan channel.
Selain kemampuan manajerial yang handal, kiranya pencitraan yang positif dalam masyarakat sangat memegang peranan penting terhadap keberlangsungan media televisi. Kalau sebuah stasiun televisi sudah mendapatkan citra yang negatif, penonton pasti akan sangat mudah meninggalkannya, bahkan mungkin tidak mau lagi menonton semua cara yang disiarkan. Kemampuan menumbuhkan dan menjaga citra televisi sangat dibuthkan pada diri pelaku broadcasting saat ini.
Citra menjadi penting sekali karena keberadaanya menumbuhkan fanatisme di kalangan penonton. Penonton inilah yang sangat penting bagi televisi. Apapun hebatnya sebuah acara, kalau tidak ditonton, ya tidak ada artinya. Pembangunan citra diri televisi sangat penting dan bisa menjadi alternatif manajemen pertelevisian kita.




Daftar Pustaka:
-          Prof. Sasa Djuarsa S. Ph.D, “Teori Komunikasi, Universitas Terbuka”, Jakarta, 2004
-          De Fleur, Melvin L; Ball-Rokeach, Sandra,  “Theories of Mass Communication”, London, 1982

-           Silih Agung Wasesa, “Stragi Public Relation”, Jakarta, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar