Oleh:
Cosgathar
Televisi adalah
salah satu temuan manusia yang mempunyai berpengaruh sangat luar biasa dalam
kehidupan manusia. Ia menghasilkan sejuta efek, baik yang positif maupun
negatif, bagi manusia. Televisi mempunyai kemampuan menjangkau
seluruh penduduk secara cepat dan mempengaruhi gaya hidup dan alam pikiran
manusia. McLuhan menyebut televisi
sebagai: (a) Hot media, panas dan memanaskan; yang datang dengan cepat,
sukar dirujuk dan berpotensi tinggi
mendorong dan menggerakkan tindakan spontan secara bersama, (b) global village
atau Sumber “dusun global”: pencitraan, persepsi, informasi kasar, sederhana. Kehadirannya
di tengah ruang keluarga sangat masif, rasanya sulit mencegah hegemoni televisi
terhadap kehidupan kita. Oleh karena itu media
televisi (rawan) menjadi barang rebutan bagi kepentingan-kepentingan tertentu sebagai alat dominasi ekonomi, politik, informasi, budaya dan sosial.
Bila melihat acara-acara televisi di Indonesia, secara jelas dapat kita
lihat adanya kecenderungan keseragaman acara. Hampir semua stasiun televisi
menyiarkan acara-acara yang mempunyai karakteristik yang sama. Di stasiun A ada
acara music live, di stasiun B, C, dan yang lainya ada juga, bahkan nyaris sama
packaging-nya. Kalaupun ada
perbedaan, perbedaan itu tidak secara kuat mencirikan bahwa acara itu beda
dengan acara sejenis di stasiun lain. Ketika sedang heboh acara sinetron
percintaan, semua stasiun menyiarkan sinetron percintaan, ketika heboh sinetron
misteri, semua menyiarkannya, atau ketika heboh acara live music, semua melakukan hal yang sama.
Kalau hanya kebetulan saja sama, tidak begitu menjadi masalah. Tapi kalau
kecenderungan itu adalah karena meniru atau ikut arus, maka kecenderungan ini
mencerminkan bahwa pengelolaan atau manajemen media telivisi di Indonesia belum
menjalankan perannya secara maksimal karena masih mengandalkan kemampuan meng-copy bukan orisinalitas suatu program.
Padalah orisinalitas sangat menentukan kualitas dari program itu sendiri.
Ketika stasiun A membangun suatu program tanpa mencontek program stasiun lain
dan ternyata diterima dan menjadi acara favorite penonton, dengan sendirinya
akan menjadi kredit point tersendiri bagi stasiun tv tersebut. Orang akan
mengingat bahwa stasiun A mempunyai kemampuan untuk membangun program yang
berkualitas. Pada saatnya nanti, ketika akan membuat program-program lainnya,
stasiun itu akan terbantu oleh image yang telah melekat di benak penonton
terhadap stasiun tv mereka. Image atau citra ini dapat digunakan sebagai
strategi untuk memagari penonton sehingga tidak lari ke stasiun lain.
Arti pentingnya image atau citra
terletak pada cap-cap yang melekat pada diri stasiun tersebut yang dengan
sendirinya mampu mempengaruhi penonton menentukan jenis informasi apa yang dia
inginkan dan melalui stasiun televisi mana dia percaya untuk memperolehnya.
Stasiun televisi A adalah stasiun anak-anak, stasiun televisi B adalah tivi
hiburan, atau stasiun televisi C adalah stasiun televisi berita. Ketika orang
ingin melihat berita, maka ia sudah pasti akan melihat stasiun televisi C
karena dia benar-benar ‘mumpuni’ di pemberitaan
(cover both side, independen,
tidak ada kepentingan, dll.), atau kalau ingin melihat acara-acara hiburan,
orang akan memilih stasiun televisi B, karena stasiun iut menampilkan
acara-acara yang menarik, kreatif dan menghibur, dan seterusnya.
Seperti Apa Manajemen Media
Televisi?
Bicara mengenai manajemen, perhatian kita selalu terarah pada bagaimana merencanakan,
mengorganisasikan dan mengelola sesuatu memberikan nilai lebih (baca: keuntungan).
Manajemen selalu berkaitan dengan organisasi. Manajemen merujuk pada pengelolaan sumber daya yang ada untuk
mencapai tujuan tertentu. Nickels, McHugh and McHugh (1997) mendefinisikan
manajemen sebagai “The process used to
accomplish organizational goals thorugh planning, organizing, diricting, and
controlling people and other organizational resources” atau sebuah proses
yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan organisasi melalui rangakian kegiatan
berupa perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian orang-orang
serta sumber daya organisasi lainnya.
Biasanya untuk
mencapai hasil yang diinginkan, manajemen dilakukan dengan memompa
produktivitas dengan menekan resources sehingga menampilkan sebuah pola kerja
yang efisien dan tepat guna. Dalam media
televisi pun demikian. Manajemen media selalu dikaitkan dengan bagaimana sebuah
stasiun televisi dapat memproduksi dan atau
menyiarkan acara dengan baik, sementara pengeluaran yang dikeluarkan se-sedikit
mungkin. Itulah hukum ‘ekonomis’, pengeluaran se-sedikit mungkin, untuk hasil
yang sebesar-besarnya.
Untuk dapat bertahan hidup, tentu hukum ‘ekonomis’ ini sangat berguna
bahkan mungkin menjadi syarat mutlak. Produksi-produksi acara dipersingkat
durasinya, pengurangan budget-budget yang tidak mendesak dan sifatnya
komplementer, cari arti-artis yang murah bayarannya, atau justru mengorbit
arti-artis baru, dan seterusnya, adalah beberapa
langkah yang biasanya dilakukan manajemen televisi untuk mengurangi resiko
merugi.
Trend manajemen media yang saat ini sedang menggejala di dunia adalah
konsentrasi kepemilikan. Di indonesia ada group MNC yang menguasai tiga stasiun
televisi nasional, beberapa stasiun televisi lokal, media cetak, dan
beberapa stasiun radio. Kemudian ada
PARA group, SCM, dan masih banyak group-group lain yang pada intinya
mengkonsetrasikan kepemilikan saham beberapa media pada satu kelompok.
Kebijakan ini berkaitan dengan bagaimana
memaksimalkan keuntungan dengan memanfaatkan resources yang ada.
Apa Itu
Cita Televisi dan Bagaimana Membangun Citra Televisi?
Seperti yang telah diterangkan di awal paper ini,
televisi sebagai salah satu bentuk media massa mempunyai pengaruh yang kuat
tehadap masyarakat dan budaya. Televisi
tidak hanya memiliki efek langsung terhadap individu, tetapi juga mempengaruhi
kultur, pengetahuan kolektif dan norma serta nilai-nilai dalan suatu
masyarakat. Televisi menghadirkan
seperangkat citra (images), gagasan,
dan evaluasi (De Fleur, 1982).
Citra sebuah perusahaan di mata publik dapat
terlihat dari pendapat atau pola pikir komunal pada saat mempersepsikan realitas yang terjadi (Silih Agung Wasesa, 2006). Realitas yang bisa didapatkan dari
media massa atau media-media lainnya yang berhubungan langsung dengan publik,
bisa mewakili persepsi yang lebih besar
atau masif, yakni masyarakat. Singkatnya, citra perusahaan terbentuk
oleh adanya intraksi persepsi (yang
berkembang dalam benak publik) dengan realitas (yang muncul di media).
Masing-masing individu mempunyai persepsinya
sendiri tentang suatu realitas yang sama. Philip Kotler mendefinisikan persepsi sebagai sebuah proses dimana
seseorang melakukan seleksi, organisasi, dan intepretasi terhadap informasi-informasi
yang masuk ke dalam pikirannya menjadi sebuah gambar besar yang memiliki arti,
persepsi tidak hanya tergantung pada stimuli fisik saja, tetapi sangat
dipengaruhi oleh adanya konteks situasi dan kondisi yang dimiliki individu
secara pribadi. Oleh karena itu untuk memperoleh citra yang diinginkan oleh
perusahaan, manajemen harus memahami
secara menyeluruh bagaimana proses seleksi terhadap informasi tentang realitas
itu terjadi.
Citra perusahaan akan terbentuk sangat ditunjang
oleh kemampuan membangun persepsi audience berdasarkan realitas yang ada. Persepsi tidak bisa dibangun dengan dasar
realitas yang rapuh. Persepsi, realitas
dan citra mempunyai hubungan postif yang tumbuh di atas fondasi kredibilitas.
Informasi tentang realitas yang kredibel mendasari terbentuknya persepsi
masyarakat terhadap media sehingga pada gilirannya membentuk suatu citra media
yang kuat. Citra pada gilirannya akan
menumbuhkan fanatisme dalam arti luas di kalangan masyarakat, seperti:
munculnya penonton –penonton setia, fans, dll.
Dalam dunia televisi citra ada untuk menjaring
sekaligus melayani penonton. Ia dapat dihadirkan melalui segala program yang
disiarkan oleh televisi itu. Stasiun televisi bisa menghadirkan acara yang
menarik perhatian dan sangat dibutuhkan
oleh masyarakat. Kemudian ditentukan kapan disiarkan, apakah sore, siang atau
malam. Pemilihan waktu tayang yang tepat tidak kalah penting dengan kontent
dari acara tersebut. Hal ini terkait dengan pola kerja masyarakat dimana pada
jam-jam tertentu seseorang tidak punya akses ke televisi karena sedang bekerja.
Misalnya, untuk acara anak-anak biasanya disiarkan pagi hari, untuk laki-laki
biasanya diatas tujuh malam, dan sebagainya. Tim scedulling memegang peranan penting karena dia harus bisa memetakan
penonton.
Yang tak kalah penting adalah memperhatikan
kebiasaan penonton yang pindah channel.
Kalau acara di satu stasiun televisi tidak menarik, dengan mudah dia akan
pindah ke stasiun lain dengan cepat, tinggal pencet tombol remote saja. Media harus pandai-pandai dalam memahami kecenderungan
penonton yang mempunyai kebiasaan memilah-milah informasi berdasarkan kepentingan
pribadi mereka dengan program-program yang menarik. Seorang ibu rumah tangga
tidak mungkin menyukai acara dialog politik yang kaku. Makan kalau yang menjadi
sasaran penontonnya adalah ibu rumah tangga, acara jangan dibuat dengan packaging
dialog politik yang kaku.
Proses pemilihan acara yang akan ditayangkan oleh
stasiun televisi menjadi proses yang krusial dalam pembangunan citra televisi.
Sebuah stasiun yang membidik citra-nya sebagai stasiun televisi educatif, tidak
mungkin menayangkan acara yang berkaitan dengan misteri ataupun takhayul.
Bagaimana akan dipercaya sebagai stasiun televisi yang ikut mendidik masyarakat
kalau yang ditayangkan adalah misteri-misteri yang justru membawa penontonnya
set-back ke pemikiran-pemikiran irasional. Penonton dengan mudah akan ganti channel atau bahkan tidak percaya lagi
dengan stasiun televisi tersebut sehingga tidak akan pernah mau lagi nonton
segala acara di stasiun televisi tersebut. Seharusnya kalau menginginkan citra
televisi educatif, stasiun televisi menayangkan acara-acara yang benar-benar
mendidik, bukan sebaliknya.
Di sini terlihat, citra televisi tidak pernah
lepas dari apa visi dan misi dari pendirian stasiun televisi tersebut; karena
pada dasarnya citra adalah konsistensi dari visi dan misi yang telah
dicanangkan di awal berdirinya sebuah stasiun televisi. Kalau visi dan misi stasiun televisi adalah entertainment, jika dilaksanakan dengan
benar (artinya segala acara yang disiarkan benar-benar terkait dengan entertainment) maka akan diperoleh
sebuah citra entertainment. Jadi
sebenarnya citra dapat dibangun dari awal berdirinya sebuah stasiun televisi.
Ia tumbuh bersama dengan visi-misi yang dicanangkan kemudian dipupuk oleh
pengelolaan program (programming),
jam tayang (schedulling) yang benar, dan tentu saja format tayangan (packaging) yang tepat pula.
Stasiun televisi harus memperhatikan apa yang
menjadi program unggulan mereka. Mereka harus menyiapkan program-program (baik interaktif maupun non
interaktif) yang disukai oleh masyarakat sehingga stasiun mereka selalu menjadi
piliha pertama begitu penonton menghidupkan televisi. Program-program ini pada
gilirannya akan mendongkrak rating karena orang setia menonton acara televisi
tertentu. Bagaimana membuat acara yang membuat penonton menjadi serasa ikut
memiliki stasiun televisi itu (acara-acara interaktif). Di sini kemampuan untuk
menjaga dan membangun komunitas penonton sangat diperlukan. Bagaimana suatu
acara dibangun sebagai sebuah lanjutan dari acara-acara yang telah disiarkan
sebelumnya. Ada kesinambungan yang mampu menjaga komunitas penonton.
Melalui
Public Relation?
Di luar semua yang telah dijelaskan di atas,
sebenarnya ada satu jalur lagi dalam membangun citra diri televisi, yaitu dengan
memanfaatkan fungsi Public Relation. Peran
ini memang tidak bisa begitu maksimal karena sesuai dengan kaidah penyiaran,
televisi tidak bisa menceritakan kehebatannya sendiri melalui televisi mereka
sendiri. Tapi televisi masih bisa melakukan banyak hal untuk membangun citra
mereka melalui fungsi Public Relation, antara lain: memanfaatkan media lain (seperti: media
cetak, radio, atau internet/website), melakukan reportase kepentingan publik
untuk memperoleh simpati publik , mengadakan program off-air, atau melakukan
kerjasama dengan merek lain (Co-branding).
Sebuah stasiun televisi bisa melakukan kerjasama
dengan media massa lainnya untuk memperkuat image mereka. Di media cetak,
sebuah stasiun televisi bisa membuat iklan-iklan di media cetak untuk
menumbuhkan kesan di masyarakat bahwa stasiun tersebut mempunyai citra
edukatif, entertainmen, atau yang lainnya.
Iklan-iklan ini dibuat sedemikian rupa sehingga menampilkan citra yang
diinginkan dari stasiun televisi itu. Melalui media radio, televisi bisa bekerjasama menyiarkan suatu acara
secara bersamaan. Ini sangat membantu dalam memperluas jangkauan siaran.
Misalnya, Liputan 6 SCTV selain bisa dilihat melalui layar kaca, tapi di saat
bersamaan bisa di dengarkan di radio Smart FM sehingga orang-orang di
tempat-tempat yang tidak terjangkau oleh
siaran SCTV tetap bisa mengakses liputan 6, atau bagi yang sedang mengendarai
mobil, tetap bisa mendapatkan informasi dari liputan 6 melalui radio mobil. Sedangkan
melalui internet televisi bisa membangun
website yang bisa mendokumentasikan apa yang telah disiarkan sebelumnya.
Kemajuan tehnologi, memungkinkan siaran yang telah disiarkan disimpan dan mudah
diakses untuk dapat melihat kembali apa yang disiarkan. Ini mempermudah orang
yang belum sempat melihat siaran langsungnya. Disamping itu, manajemen juga
bisa melakukan intervensi untuk menaikan cintra televisi.
Untuk memperoleh simpati publik, stasiun televisi
bisa melakukan reportase besar-besaran dengan mengungkap penemuan-penemuan penting
dilapangan yang sifatnya kontroversial. Misalnya, TransTV sangat getol
menyiarkan adanya formalin pada tahu dan bakso. Dengan melakukan investigasi
yang mendalam dan dilengkapi dengan candid
cammera, mengekpose apa yang sebenarnya terjadi dalam pengolahan makanan
yang selama ini mungkin menjadi makanan favorite masyarakat Indonesia. Laporan
investigasi tersebut sangat menyetuh hati penonton dan menimbulkan simpati yang
luas. Stasiun TransTV kemudian dianggap mempunyai citra yang baik karena mempunyai
kepedulian dan memperhatikan kepentingan publik.
Program-program off-air menjadi penting karena keingintahuan masyarakat akan apa
yang terjadi di balik layar televisi itu seperti apa. Orang selama ini hanya tahu tentang tayangan-tayangan yang sudah ditayangkan
saja, mereka tidak tahu bagaimana dan
apa yang dilakukan sehingga sebuah acara dapat disiarkan. Stasiun televisi bisa
membuat program-program yang menerima kunjungan dari publik ke perusahaan untuk
sekedar melihat apa yang terjadi di dalam dunia pertelevisisan.
Stasiun televisi juga bisa memanfaatkan co-branding dengan melakukan kerjasama
dengan even-even baik lokal, nasional maupun internasional, entah itu dalam
bentuk sponsorship, event organizer, atau yang lainnya. Misalnya, Trans7
memilih menjadi saluran Lega Calcio Serie
A Italia melalui kerjasama dengan PT. Djarum sebagai sponsorshipnya, Global
TV memilih menjadi saluran Formula 1, RCTI memilih American Idol, dan lain-lain.
Kesimpulan
Sebagai Penutup
Citra adalah seperangkat nilai yang melekat pada
televisi. Ia mencerminkan seperti apa sebenarnya stasiun televisi itu bergerak.
Apapun yang disiarkan televisi akan ada
dalam benak penonton dan pada gilirannya akan menumbuhkan penilaian terhadap
televisi itu sendiri. Seberapun hebatnya sebuah stasiun televisi kalau tidak
memperhatikan citra, maka lambat laun stasiun televisi itu akan ditinggalkan.
Manusia sangat kejam dengan remot
kontrolnya. Ketika ia sudah tidak suka dengan acara yang ditontonya, ia akan
segera memindahkan channel.
Selain kemampuan manajerial yang handal, kiranya
pencitraan yang positif dalam masyarakat sangat memegang peranan penting
terhadap keberlangsungan media televisi. Kalau sebuah stasiun televisi sudah
mendapatkan citra yang negatif, penonton pasti akan sangat mudah meninggalkannya,
bahkan mungkin tidak mau lagi menonton semua cara yang disiarkan. Kemampuan
menumbuhkan dan menjaga citra televisi sangat dibuthkan pada diri pelaku
broadcasting saat ini.
Citra menjadi penting sekali karena keberadaanya
menumbuhkan fanatisme di kalangan penonton. Penonton inilah yang sangat penting
bagi televisi. Apapun hebatnya sebuah acara, kalau tidak ditonton, ya tidak ada
artinya. Pembangunan citra diri televisi sangat penting dan bisa menjadi
alternatif manajemen pertelevisian kita.
Daftar
Pustaka:
-
Prof. Sasa
Djuarsa S. Ph.D, “Teori Komunikasi,
Universitas Terbuka”, Jakarta, 2004
-
De Fleur,
Melvin L; Ball-Rokeach, Sandra, “Theories of Mass Communication”, London,
1982
-
Silih Agung Wasesa, “Stragi Public Relation”, Jakarta, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar