Senin, 03 Agustus 2015

MENGENAL GROUPTHINK HYPOTHESES



 By Cosgathar

Groupthink adalah sebuah situasi dimana terjadi kemerosotan efisiensi  mental,  pengujian realitas, dan penilaian moral yang disebabkan oleh tekanan-tekanan kelompok. Groupthink menujuk pada  suatu mode berfikir sekelompok  orang yang kohesif, mencapai kebulatan suara dengan  mengesampingkan  motivasi mereka guna menilai alternatif-alternatif  tindakan secara realitas (Janis: 1972). Dalam groupthink, seorang anggota kelompok ‘terpaksa’ untuk sepakat dengan pendapat kelompok  meskipun sebenarnya ia tidak sepenuhnya setuju  dengan keputusan yang diambil oleh kelompok tersebut. Kelompok yang terpengaruh oleh groupthink akan cenderung  mengabaikan alternatif untuk mengambil tindakan yang irasional kasar dari kelompok lain. Anggapan yang  positif terhadap kelompoknya sendiri telah menyebabkan anggota kelompok  melumpuhkan pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat yang kritis. Hal ini muncul karena anggota kelompok tersebut biasanya  terlalu loyal dan terlalu kohesif terhadap kelompoknya.
Contoh kasus groupthink adalah keputusan presiden Soekarno untuk melakukan konfrontasi “Ganyang Malaysia” tahun 1964.  Pada  tanggal 29 Agustus 1964, Kuala Lumpur dan London menumumkan  pembentukan Malaysia. Bung Karno  langsung menanggapi nya dengan mengambil garis keras. Menurutnya, pembentukan negara Malaysia  melanggar tiga hal: tidak demokratis, bertentangan dnegan KTT Manila, dan bertentangan dnegan resolusi dekolonisasi PBB.  Bung Karno kemudian mengumumkan “ganyang Malaysia” dengan mencanangkan Dwikora (Dwi Komando Rakyat), yaitu: pertinggi pertahanan revolusi Indonesia dan bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah menghancurkan Malaysia. Maka, dimulailah aksi-aksi infiltrasi ABRI dan sukarelawan-sukarelawan ke semenanjung Malaya dan bagian utara Borneo.
Pada waktu itu beberapa elemen dalam pemerintahan termasuk para petinggi Angkatan Darat tidak setuju dengan ide Soekarno itu. Beberapa perwira ABRI menilai konfrontasi dengan Malaysia hanya akan menghabiskan anggaran belanja ABRI. Sementara situasi perekonomian dalam negeri sangat sulit. Beni Moerdani, perwira penanggungjawab pengiriman infiltran, mengatakan bahwa program Ganyang Malaysia tidak begitu menguntungkan bagi Indonesia dilihat dari  faktor kesiapan tempur dan keadaan ekonomi Indonesia; beberapa perwira tinggi ABRI tahu benar kenyataan itu. Tapi, siapa yang berani melawan keinginan Soekarno? Sosok yang begitu berpengaruh di pelosok negeri, yang setiap berpidato sanggup membangkitkan semangat juang seluruh rakyat. Seluruh petinggi negara saat itu begitu terpukau dengan kredibilitas Soekarno, sang pemimpin besar revolusi. Mengungkapkan sedikit ketidaksetujuannya terhadap pendapat Bung Karno sama saja dengan menghadapi sejuta pendukung setianya yang sangat loyal. Bisa-bisa dianggap sebagai penghianat revolusi.
Di sinilah, lingkaran dekat Soekarno (para penasihat, petinggi militer, menteri dan para Waperdam-Wakil Perdana Menteri) termakan oleh groupthink. Diskusi-diskusi mereka yang langsung dipimpin oleh Soekarno dilandasi oleh suatu derajat kepaduan dan esprit de corps yang tinggi sehingga  melumpuhkan pemikiran-pemikiran  dan perbedaan pendapat yang kritis. Kehadiran tentara Indonesia di Malaysia  (dimulai dengan infiltrasi) diharapkan dapat menumbuhkan semangat juang penduduk Serawak, Singapura, dan Malaya untuk melawan Inggris sehingga dapat mencegah terbentuknya federasi Malaysia. Tapi nyatanya misi itu gagal. 
Secara umum, faktor-faktor yang mendorong terjadinya groupthink dapat dikelompokkan  menjadi tiga, yaitu: kohesivitas kelompok, kesalahan struktur dalam organisasi dan konteks situasi provokatif. Ketiga kelompok suasana inilah yang mendahului munculnya groupthink. Kohesivitas merunjuk pada kohesivitas sebuah kelompok yang tinggi  sehingga masing-masing anggota merasa sudah menyatu dan sangat padu. Yang termasuk dalam kesalahan struktur organisasi adalah kelompok yang tertutup - terisolasi dari luar seperti kapsul, kepemimpinan yang berpihak, tidak adanya aturan prosedur secara metodik, dan latar belakang kelompok elit yang terlalu homogen.  Sedangkan  yang termasuk dalam  konteks situasi provokatif antara lain: tekanan dari luar yang tinggi dan tak ada solusi yang lebih baik dari pada sang pemimpin, dan penghargaan diri yang rendah.
Ketika sebuah kelompok berada dalam situasi tersebut, biasanya kelompok akan melakukan   pencarian kesepakatan-kesepakatan dan kerukunan. Pemimpin  kelompok akan berusaha meminimalisir  ketidaksepakatan anggotanya. Konflik ditekan sedemikian rupa sehingga akan muncul konsekuensi berupa groupthink.  Yang perlu dicatat, tidak semua keputusan yang diambil dalam keadaan groupthink akan menghasilkan keputusan yang buruk. Dalam kondisi  tertentu, keputusan yang diambil dalam suasanan groupthink justru sangat tepat dan dibutuhkan.
Terjadinya groupthink ditandai dengan beberapa gejala yang dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu: I. Overestimation  of the group (merasa paling hebat),  II. Closed-mindedness (pikiran yang picik), III. Pressures toward uniformity (menekankan keselarasan).  Yang termasuk dalam Overestimation of the group adalah Illution of invulnerability (ilusi kekebalan, yang merupakan optimisme yang berlebihan yang ditandai dengan  munculnya perasaan tidak bersalah. Biasanya  anggota cenderung  mengabaikan bahaya dan  mengambil risiko ekstrim) dan Belief in inherent morality of the group (kepercayaan akan superioritas moral kelompok, dimana anggota percaya keputusan mereka adalah benar secara moral, mengabaikan etika konsekuensi dari keputusan mereka). Sedangkan yang termasuk dalam Closed-mindednesss adalah Colective rationalization (rasionalisasi atas tindakan yang diputuskan, ditandai dengan mencari pembenaran ketika dikritik) dan stereotypes of out-groups (membuat stereotip negatif tentang kelompok-kelompok luar  sebagai jahat,  lemah, dan bodoh). Dan yang termasuk dalam tipe Pressure toward uniformity antara lain: self cencorship (sensor diri), illusion of unanimity (ilusi persetujuan dan kebulatan suara, yang memandang semua anggota mengamini keputusan kelompok, yang ‘diam’ diangga menyetujui keputusan), direct pressure on dissenters (tekanan langsung kepada angota kelompok yang berbeda pendapat/ membangkang, oposisi dilihat sebagai ketidaksetiaan), dan self-appointed mindguards (munculnya pembela-pembela kputusan  atas inisiatif sendiri untuk melindungi  kelompok dan pemimpin dari  pendapat yang merugikan, informasi yang tidak diiinginkan, dan kritik. Gejala-gejala tersebut saling berkaitan dan menunjang satu sama lainnya.
Ketika melakukan pengambilan keputusan, anggota kelompok biasanya mempunyai ilusi kekebalan, suatu keyakinan bahwa kegagalan itu tak mungkin terjadi. Hal ini menyebabkan mereka cenderung mengabaikan informasi-informasi yang  membangkitkan perhatian terhadap bahaya yang mungkin terjadi. Dalam kasus ini, Soekarno dan lingkaran mengabaikan bahwa tentara Inggris telah bersiap dengan  80.000 pasukannya di perbatasan. Soekarno juga tidak begitu memperhitungkan apa komentar dan kecaman dari negara-negara asing terhadap tindakan menyerang Malaysia yang justru akan memberikan cap Indonesia sebagai negara agresor, penjajah baru.
Menurut Beni Moerdani, sebenarnya posisi ABRI selama berlangsungnya kebijakan Ganyang Malaysia serba sulit. Mereka merasa harus mendukung  setiap implementasi kebijakan politik luar negeri yang diambil oleh Soekarno.  Kebijakan yang dilandasi  anggapan bahwa Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara, membawa implikasi ABRI harus mampu berperan dalam percaturan politik dunia.  Namun di sisi lain, pimpinan ABRI sangat sadar bahwa musuh yang dihadapi sangat kuat. Pasukan Inggris dibantu oleh Australia dan Selandia Baru, yang sejak awal berjanaji akan mempertahankan Malaysia. Kalau sampai terjadi perang terbuka mungkin Indonesia kalah, tapi kalau menerapkan perang gerilya kemungkinan besar kita masih bisa bertahan.
Oleh karena itu, para petinggi militer sebenarnya telah memberikan peringatan kepada Soekarno, tapi Soekarno tetap pada keputusannya. Tapi karena peringatan itu tidak bisa diabaikan seluruhnya, Soekarno dan lingkaran dekatnya melakukan rasionalisasi, sebagai sebuah mekanisme  pertahanan yangmemungkinkan  mereka mendistorsi informasi  yang tidak dikehendaki.
Gejala lain dari groupthink yang nampak dalam ‘Ganyang Malaysia’ adalah kepercayaan terhadap superioritas kelompok. Kelompok Soekarno mereasa mereka sebagai agen-agen kebajikan yang berkewajiban membebaskan rakyat Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah dari belenggu neo-kolonialisme (nekolim).  Mereka menganggap diri mereka bermoral luar biasa, sampai-sampai mereka tak segan  melakukan tindakan ofensif, seperti infiltrasi dan penyerbuan  ke wilayah-wilayah  Malaysia dan Singapura. Soekarno pun mempunyai stereotif-stereotif  terhadap kelompok musuh atau saingan. Soekarno menyebut Inggris dan negara bentukannya, Malaysia sebagai nekolim dan antek-antek nekolim.       
Tekanan-tekanan langsung juga dialami kelompok Soekarno. Jenderal Ahmad Yani (Men PangAD) mengakui sekalipun secara pribadi ia tidak setuju dengan kebijakan ‘Ganyang Malaysia’, ia tidak punya kuasa untuk menghentikan kebijakan itu. Dengan demikian Yani dan kelompoknya melakukan sensor diri  yang memungkinkan kelompok mempunyai ilusi kebulatan suara sehingga setiap anggota kelompok  hanya dapat berdiam diri.  Layalitas dan kekaguman anggota lingkaran dalam Soekarno terhadap wibawa, though, dan kepopuleran Soekarno mampu memperkuat ilusi persetujuan dan kebulatan suara tersebut.
Dalam lingkaran dalam Soekarno juga terdapat mindguards yang menetralisir  setia keraguan yang muncul. Orang-orang seperti Subandrio (Menlu) dan DN. Aidit (Waperdam) adalah tokoh-tokoh pembela Soekarno yang senantias berusaha meyakinkan  anggota-anggota lainnya untuk setuju dengan keputusan kelompok. Aidit bahkan siap menyediakan sukarewan-sukarewan dari partainya yang akan membantu militer menyusup ke Malaysia.
Melihat apa yang telah saya uraikan di atas,  terlihat jelas  bahwa kebijakan ‘Ganyang Malaysia’ yang di keluarkan oleh Bung Karno sebagai reaksi terhadap dibentuknya federasi Malaysia oleh Inggris, merupakan pengaruh dari groupthink. Gejala-gejala yang sebutkan Janis sebagai gejala groupthink muncul dalam proses pengambilan kebijakan Ganyang malaysia oleh Soekarno.
Untuk  mencegah terjadinya keputusan atau tindakan yang negatif dalam groupthink, maka yang paling utama perlu diketahui oleh kelompok adalah mengetahui penyebab dan konsekuensi dari grupthink. Selain itu, Groupthink bisa dihindari apabila The leader should be neutral when assigning a decision-making task to a group, initially witholding all preferences and expectations. para pemimpin bersikap netral ketika memberikan sebuah keputusan tugas ke grup, awalnya witholding semua preferensi dan harapan. This practice will be especially effective if the leaders consistently encourages an atmosphere of open inquiry. Praktek ini akan dirasakan sangat efektif jika pemimpin secara konsisten mendorong suasana terbuka pertanyaan. Para pemimpin harus memberikan prioritas tinggi untuk pernyataan  keberatan dan meragukan, dan yang akan menerima kritikan. Kelompok harus selalu mempertimbangkan pendapat tidak populer alternatif dengan  menempatkan peran devil's advocate kuat dari beberapa anggota kelompok (meskipun mereka sebenarnya setuju). Kadang-kadang sangat berguna untuk membagi kelompok menjadi dua kelompok terpisah sebagai badan penasihat  dan evaluasi. Melakukan survei terhadap semua peringatan atau informasi-informasi dari saingan grup dan organisasi. Keputusan-keputusan yang diambil dilakukan secara bertahap, tidak sekaligus. Mengundang ahli-ahli dari  luar untuk memberikan masukan-masukan penting sebelum memutuskan suatu kebijakan.
Kritik terhadap teori ini adalah bahwa Janis menguji hipotesis groupthink di laboratorium sebelum mengujinya di lapangan. Di laboratorium akan sangat sulit mengetahui tingkat cohesiveness yang ada dalam suatu kelompok. Disamping itu, Janis tidak menyebutkan  kriteria spesifik untuk groupthink asli sehingga sulit untuk mengujinya. Namun, saat ini beberapa peneliti telah berusaha untuk mengembangkan skala untuk menguji groupthink.
Lalu, apa relevansi teori ini dalam konteks Indonesia? Mempelajari groupthink akan membuka wawasan kita mengenai proses pengambilan keputusan-keputusan penting terjadi.  Kita bisa mempelajari dan mengetahui sejauh mana kohevisitas kelompok mempengaruhi keputusan kelompok tersebut. Bagaimana kelompok-kelompok kohesif membuat keputusan-keputusan yang keliru dan lain-lain. Dengan demikian, kita bisa mempelajari bagaimana sebuah keputusan akhirnya diputuskan. Banyak keputusan penting di Indonesia yang sebenarnya terpengaruh oleh groupthink. Hal ini tidak lepas dari budaya kita yang cenderung paternalistik dimana kelompok menempatkan sang patron sebagai orang yang “lebih” dari anggota lainnya. Konsekuensinya, apapun yang dikatakan sang patron adalah benar. Berbeda pendapat dengan sang patron bisa diartikan merongrong atau berkhianat.



Daftar Pustaka:
-          Irving Janis, Groupthink, 2d ed., Houghton Mifflin, Boston, 1982.
-          Griffin, EM, A First Look At Communication Theory, 6th ed., Mc Graw Hill, New York, 2006
-          Mulyana, Dedy, Nuansa-Nuansa Komunikasi, bandung, 1999

-          Pour, Julius, Beny, Tragedy Seorang Loyalis, KATA, Jakarta, 2007

SEPUTAR GATEKEEPING THEORY




By Cosgathar


Konsep penjaga gerbang (gatekeeper) dalam operasional media massa sesungguhnya telah berkali-kali digunakan dalam studi mengenai porses komunikasi massa. Galtung dan Ruge bukanlah yang mengawalinya. Sebelumnya Kurt Lewin (1947) telah melontarkan konsep adanya area gerbang (gate areas), tempat dimana keputusan diambil oleh seseorang berdasarkan aturan yang diberlakukan oleh penjaga gerbang (gatekeeper). Kurth mengambil contoh pada proses pengambilan keputusan pembelian keperluan rumah tangga. Setiap informasi yang melewati saluran (channel) sebelum sampai pada keputusan selalu melewati gate areas. Pada area inilah informasi ataupun barang yang tidak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh gatekeeper diseleksi. Konsep yang dikemukakan oleh Kurth kemudian diadopsi dan dikembangkan oleh White (1950) dengan studi mengenai peranan redaktur (editor) yang menyeleksi kiriman berita melalui telegram (zaman ketika berita dikirim lewat telegram) pada sebuah surat kabar pedesaan di Amerika. Aktivitas seleksi tersebut oleh White dianggap sebagai aktivitas utama penjaga gerbang (gatekeeper).

Pengertian Gatekeeping:
”The term gatekeeping has been widely used as a metaphor to describe the prosses by which selections are made in media work, especially decisions whether or not to admit a particular news report to pass through the ’gates’ of a news medium into the news channels” (White 1950; Shoemaker 1991)

Model gatekeeper yang diperkenalkan oleh White banyak mendapat kritik, karena hanya menempatkan satu orang penjaga gerbang. Padahal pada kenyataannya operasional sebuah media sangat kompleks. Model White disempurnakan oleh McNelly dengan memperkenalkan model Aliran Berita (News Flow). McNelly mengambil fakta pada proses pengiriman berita luar negeri yang disampaikan oleh koresponden luar negeri kepada radaktur biro regional. Di sini berita mengalami seleksi dan penyuntingan, sebelum dikirim ke redaktur yang bertempat di biro pusat. Seleksi dan penyuntingan terjadi lagi. Dari sini berita dikirim ke redaktur biro tingkat nasional, sebelum akhirnya didistribusikan ke berbagai surat kabar, radio dan televisi, yang tentunya juga melakukan penyuntingan, sebelum disampaikan kepada khalayak pembaca, pendengar atau pemirsa. Gatekeeping itu sendiri merupakan suatu proses pemilahan dan pemilihan terhadap apa yang layak dan tidak layak, baik dari materi/content, bahasa penyampaian, pemilihan berita, dan sebagainya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan target audience atau pembaca dari suatu media (media cetak/radio/televisi dsb). Proses seleksi berita juga tergantung pada peran para pemasang iklan.
Proses gatekeeping merupakan salah satu elemen penting dari proses pemberitaan sebuah media, di mana elemen-elemen yang terkait gatekeeping mendasarkan diri pada visi dan misi media serta lingkungan social (media need, target audience). Jika proses gatekeeping tidak berjalan dengan baik, maka akan membawa implikasi baik internal maupun eksternal. Internal berkaitan dengan kredibilitas media, pencapaian target bisnis, demoralisasi di newsroom. Eksternal berkaitan dengan kepercayaan audience (oplah/rating), pencapaian bisnis, masalah hukum. Seseorang yang melakukan proses gatekeeping disebut sebagai gatekeeper, dimana di setiap media penyebutannya bisa berbeda, misalnya:
·       Media Cetak : reporter, redaktur, redaktur pelaksana, pemimpin redaksi.
·       Radio : reporter, penyiar, program director, produser, pemimpin redaksi
·  Televisi : reporter, camera man, kordinator peliputan, produser, editor, news manager, pemimpin redaksi.

Gatekeeper terintegrasi dalam sebuah system newsroom, di mana setiap unsur saling berinteraksi berdasarkan panduan profesionalisme, etik untuk menyeleksi berita mana yang layak dan tidak layak untuk diberitakan.


GALTUNG AND RUGE GATEKEEPING MODEL

Model gatekeeping Galtung & Ruge merupakan penyempurnaan dari model White, dengan mengemukakan sembilan kriteria sebagai “alat saring” dari gatekeepingWorld event yang akan disajikan dalam media image ini akan melalui beberapa proses seleksi dengan menggunakan sembilan kriteria sebagai “pisau analisis” untuk memilih dan memilah apakah berita tersebut layak atau tidak untuk disajikan kepada audience.
Sembilan kriteria tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Jangka waktu terjadinya peristiwa (timespan). Setiap peristitwa memiliki jangka waktu kejadian yang berbeda-beda. Ada yang cepat dan ada yang lambat. Jangka waktu kejadian ini akan menjadi pertimbangan setiap pengelola media dengan waktu terbit atau waktu siaran. Misalnya, peristiwa tabrakan mobil dengan bus yang menewakan seluruh penumpang mobil. Berlangsung dengan cepat dan penyelesaianya juga cepat. Seluruh korban dievakuasi ke rumah sakit dan dimakamkan hari itu juga. Peristiwa ini cocok atau menjadi “makanan” koran harian atau berita televisi. Mungkin sekarang dot com atau situs berita paling suka dengan berita semacam ini. Sebaliknya, kongres WTO di Doha, yang berlangsung selama sepekan, lebih cocok diulas di majalah mingguan.
  2. Nilai intensitas. Ini sama artinya dengan magnitude peristiwa, atau nilai besar kecilnya sebuah peristiwa. Contoh, kecelakaan pesawat Garuda di Yogya yang menewaskan puluhan orang lebih memiliki magnitude dibandingkan dengan pesawat milik maskapai Sriwijaya yang tergelincir saat mendarat di bandara.
  3. Kejernihan. Sebuah peristiwa yang memiliki data dan fakta yang jelas dan pasti, tidak ambigu, maka layak menjadi berita.
  4. Kedekatan dan relevansi. Semakin dekat sebuah peristiwa dengan nilai, budaya dan kepentingan yang dimiliki oleh calon khalayak, tentu akan dipilih dan diolah menjadi berita. Contoh: TKI meninggal di luar negeri.
  5. Kesesuaian. Setiap perisitiwa yang sesuai dengan pra-konsepsi atau nilai-nilai standar yang dimiliki calon khalayak akan dipilih dan diolah menjadi berita.
  6. Tak terduga. Peristiwa yang terjadi tanpa diduga banyak orang atau tidak seperti biasanya terjadi. Misalnya, bom Bali, 9/11, pesawat jatuh.
  7. Kontinuitas. Sebuah peristiwa yang memiliki nilai berita tinggi (newsworthy), pasti akan ditunggu berita selanjutnya (follow up stories). Misalnya, kasus Ryan penjagal manusia dari Jombang, berita lanjutannya bermacam-macam.
  8. Komposisi. Berhubungan dengan keseimbangan dalam memilih berita berdasarkan lokasi peristiwanya. Misalnya komposisi berita nasional dengan berita regional. Kalau Warta Kota pasti banyak berita lokal, karena koran lokal. Kalau Kompas banyak berita nasionalnya.
  9. Nilai-nilai sosial dan budaya khalayak dan penjaga gerbang (redaktur atau pengelola media), sudah pasti akan mempengaruhi dalam proses seleksi berita.

Hal ini merupakan kelebihan dari model Galtung & Ruge jika dibandingkan dengan White’s simple gatekeeping model, karena White tidak menjelaskan mengenai kriteria-kriteria apa saja yang digunakan untuk memilih dan memilah berita yang akan disajikan.




Ada 3 hipotesis terhadap penggunaan faktor berita.
1.    hipostesis saling menambahkan (additivity hypothesis), jika sebuah peristiwa memiliki lebih banyak faktor berita, maka peristiwa itu akan mudah diangkat menjadi berita.
2.    Hipotesis saling melengkapi (complementarity hypothesis). Jika sebuah peristiwa memiliki potensi yang rendah di satu faktor berita, biasanya akan memiliki tingkat lebih besar di faktor berita yang lain.
3.    Hipotesis pengeluaran (exclusion hypothesis), sebuah peristiwa yang rendah dalam setiap faktor berita tidak akan diproduksi menjadi sebuah berita.

KEKURANGAN GALTUNG & RUGE’S MODEL

  • Ada 3 (tiga) kritik yang dilontarkan oleh Rosengren (1974) terhadap model Galtung dan Ruge.
1.    Model ini sangat berbasiskan pada persoalan psikologi dan persepsi tiap penjaga gerbang. Rosengren menyodorkan pendekatan alternatif dengan lebih memperhitungkan faktor politik dan ekonomi yang menentukan peliputan berita. Singkatnya, faktor-faktor berita menjadi tidak utuh jika tidak memperhitungkan situasi hubungan politik dan ekonomi diantara dua negara.
2.    Rosengren beragumen model Galtung dan Ruge tidak dapat diuji-cobakan, karena hipotesis pertama (additivity hypotheses) dan hipotesis kedua (complementarity hypotheses) ternyata bisa diaplikasikan pada setiap kasus.
3.    Model ini belum cukup diuji-cobakan dengan metodologi yang tepat. Karena uji coba yang memuaskan membutuhkan referensi data media yang lebih banyak, bukti-bukti lain seperti variabel politik dan ekonomi dan pengetahuan tentang realitas peristiwa yang bisa dan tidak diliput.

  • Fenomena penyajian berita di media internet yang berkembang pesat dewasa ini, menunjukkan bahwa 9 new factor yang dikemukakan oleh Galtung & Ruge tidak sejalan dengan fenomena yang ada. Pada era internet semua berita (news) meskipun tetap melalui proses penyaringan dari gatekeeper namun terkadang tidak menggunakan 9 news factor yang dikembangkan oleh Galtung & Ruge. Media internet lebih mementingkan kecepatan dan aktualitas (immediacy) sehingga ada peluang akurasi kurang diperhatikan. Karena media internet dengan “siklus berita“-nya (news cycle) yang bersifat 24 hours a day 7 days a week menyebabkan para jurnalis/pencari berita dituntut untuk selalu menghasilkan berita meskipun sudah tidak ada lagi yang perlu diberitakan, sehingga berita yang dihasilkan (karena tuntutan tersebut) jauh dari keteraturan struktur dan perencanaan. Seperti yang dikemukakan oleh Marris and Thornham (1996), “The evolution of the twenty-four hour news cycle puts pressure on journalists to constantly produce news even when there may be none, far from being spontaneous and unanticipated, news is meticulously planned and structured”.
Intinya media internet menekankan pada kuantitas berita daripada objektifitasnya.

  • Shoemaker (1991) memandang gatekeeping lebih dari sekadar persoalan psikologis individu, melainkan pada aspek peran pemasang iklan, public relation, kelompok penekan, dan manajer berita. Aspek-aspek di atas tidak berdiri sendiri-sendiri tetapi saling berkombinasi.

KESIMPULAN


  • Galtung & Ruge model dalam beberapa hal benar, namun model Galtung & Ruge lebih menekankan pada psikologis individu (lebih subjektif).
  • Beberapa ahli lain seperti Rosengren dan Shoemaker memasukkan faktor-faktor politik dan ekonomi.
  • Tingkat pengaruh dari faktor-faktor politik dan ekonomi sangat tergantung pada kondisi waktu dan situasi pada saat peistiwa itu terjadi.
  • 9 news factor dari Galtung & Ruge kurang relevan dengan media internet, karena media internet lebih menekankan pada kuantitas berita daripada objektifitas, meskipun tetap melalui proses pemilihan dan pemilihan oleh gatekeeper

MEMBANGUN CITRA DIRI TELEVISI, Sebuah Alternatif Manajemen Media Televisi


Oleh: Cosgathar



Televisi adalah salah satu temuan manusia yang mempunyai berpengaruh sangat luar biasa dalam kehidupan manusia. Ia menghasilkan sejuta efek, baik yang positif maupun negatif, bagi manusia. Televisi mempunyai kemampuan menjangkau seluruh penduduk secara cepat dan mempengaruhi gaya hidup dan alam pikiran manusia. McLuhan menyebut televisi sebagai: (a) Hot media, panas dan memanaskan; yang datang dengan cepat, sukar dirujuk dan  berpotensi tinggi mendorong dan menggerakkan tindakan spontan secara bersama, (b) global village atau Sumber “dusun global”: pencitraan, persepsi, informasi kasar, sederhana. Kehadirannya di tengah ruang keluarga sangat masif, rasanya sulit mencegah hegemoni televisi terhadap kehidupan kita. Oleh karena itu media televisi (rawan) menjadi barang rebutan bagi kepentingan-kepentingan tertentu  sebagai alat  dominasi ekonomi, politik, informasi, budaya dan sosial.
Bila melihat acara-acara televisi di Indonesia, secara jelas dapat kita lihat adanya kecenderungan keseragaman acara. Hampir semua stasiun televisi menyiarkan acara-acara yang mempunyai karakteristik yang sama. Di stasiun A ada acara music live, di stasiun B, C, dan yang lainya ada juga, bahkan nyaris sama packaging-nya. Kalaupun ada perbedaan, perbedaan itu tidak secara kuat mencirikan bahwa acara itu beda dengan acara sejenis di stasiun lain. Ketika sedang heboh acara sinetron percintaan, semua stasiun menyiarkan sinetron percintaan, ketika heboh sinetron misteri, semua menyiarkannya, atau ketika heboh acara live music, semua melakukan hal yang sama.
Kalau hanya kebetulan saja sama, tidak begitu menjadi masalah. Tapi kalau kecenderungan itu adalah karena meniru atau ikut arus, maka kecenderungan ini mencerminkan bahwa pengelolaan atau manajemen media telivisi di Indonesia belum menjalankan perannya secara maksimal karena masih mengandalkan kemampuan meng-copy bukan orisinalitas suatu program. Padalah orisinalitas sangat menentukan kualitas dari program itu sendiri. Ketika stasiun A membangun suatu program tanpa mencontek program stasiun lain dan ternyata diterima dan menjadi acara favorite penonton, dengan sendirinya akan menjadi kredit point tersendiri bagi stasiun tv tersebut. Orang akan mengingat bahwa stasiun A mempunyai kemampuan untuk membangun program yang berkualitas. Pada saatnya nanti, ketika akan membuat program-program lainnya, stasiun itu akan terbantu oleh image yang telah melekat di benak penonton terhadap stasiun tv mereka. Image atau citra ini dapat digunakan sebagai strategi untuk memagari penonton sehingga tidak lari ke stasiun lain.
Arti pentingnya  image atau citra terletak pada cap-cap yang melekat pada diri stasiun tersebut yang dengan sendirinya mampu mempengaruhi penonton menentukan jenis informasi apa yang dia inginkan dan melalui stasiun televisi mana dia percaya untuk memperolehnya. Stasiun televisi A adalah stasiun anak-anak, stasiun televisi B adalah tivi hiburan, atau stasiun televisi C adalah stasiun televisi berita. Ketika orang ingin melihat berita, maka ia sudah pasti akan melihat stasiun televisi C karena dia benar-benar ‘mumpuni’ di pemberitaan  (cover both side, independen, tidak ada kepentingan, dll.), atau kalau ingin melihat acara-acara hiburan, orang akan memilih stasiun televisi B, karena stasiun iut menampilkan acara-acara yang menarik, kreatif dan menghibur, dan seterusnya. 

Seperti Apa Manajemen Media Televisi?
Bicara mengenai manajemen, perhatian kita selalu terarah pada bagaimana merencanakan, mengorganisasikan dan mengelola sesuatu memberikan nilai lebih (baca: keuntungan). Manajemen selalu berkaitan dengan organisasi. Manajemen merujuk pada  pengelolaan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan tertentu. Nickels, McHugh and McHugh (1997) mendefinisikan manajemen sebagai “The process used to accomplish organizational goals thorugh planning, organizing, diricting, and controlling people and other organizational resources” atau sebuah proses yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan organisasi melalui rangakian kegiatan berupa perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian orang-orang serta sumber daya organisasi lainnya.
Biasanya untuk mencapai hasil yang diinginkan, manajemen dilakukan dengan memompa produktivitas dengan menekan resources sehingga menampilkan sebuah pola kerja yang efisien dan tepat guna. Dalam  media televisi pun demikian. Manajemen media selalu dikaitkan dengan bagaimana sebuah stasiun televisi dapat memproduksi dan atau  menyiarkan acara dengan baik, sementara pengeluaran yang dikeluarkan se-sedikit mungkin. Itulah hukum ‘ekonomis’, pengeluaran se-sedikit mungkin, untuk hasil yang sebesar-besarnya.
Untuk dapat bertahan hidup, tentu hukum ‘ekonomis’ ini sangat berguna bahkan mungkin menjadi syarat mutlak. Produksi-produksi acara dipersingkat durasinya, pengurangan budget-budget yang tidak mendesak dan sifatnya komplementer, cari arti-artis yang murah bayarannya, atau justru mengorbit arti-artis baru, dan seterusnya,  adalah beberapa langkah yang biasanya dilakukan manajemen televisi untuk mengurangi resiko merugi.
Trend manajemen media yang saat ini sedang menggejala di dunia adalah konsentrasi kepemilikan. Di indonesia ada group MNC yang menguasai tiga stasiun televisi nasional, beberapa stasiun televisi lokal, media cetak, dan beberapa  stasiun radio. Kemudian ada PARA group, SCM, dan masih banyak group-group lain yang pada intinya mengkonsetrasikan kepemilikan saham beberapa media pada satu kelompok. Kebijakan  ini berkaitan dengan bagaimana memaksimalkan keuntungan dengan memanfaatkan resources yang ada.

Apa Itu Cita Televisi dan Bagaimana Membangun Citra Televisi?
Seperti yang telah diterangkan di awal paper ini, televisi sebagai salah satu bentuk media massa mempunyai pengaruh yang kuat tehadap masyarakat dan budaya.  Televisi tidak hanya memiliki efek langsung terhadap individu, tetapi juga mempengaruhi kultur, pengetahuan kolektif dan norma serta nilai-nilai dalan suatu masyarakat.  Televisi menghadirkan seperangkat citra (images), gagasan, dan evaluasi (De Fleur, 1982).
Citra sebuah perusahaan di mata publik dapat terlihat dari pendapat atau pola pikir komunal pada saat mempersepsikan  realitas yang terjadi (Silih Agung Wasesa, 2006). Realitas yang bisa didapatkan dari media massa atau media-media lainnya yang berhubungan langsung dengan publik, bisa mewakili persepsi yang lebih besar  atau masif, yakni masyarakat. Singkatnya, citra perusahaan terbentuk oleh adanya intraksi  persepsi (yang berkembang dalam benak publik) dengan realitas (yang muncul di media).
Masing-masing individu mempunyai persepsinya sendiri tentang suatu realitas yang sama. Philip Kotler mendefinisikan  persepsi sebagai sebuah proses dimana seseorang melakukan seleksi, organisasi, dan intepretasi terhadap informasi-informasi yang masuk ke dalam pikirannya menjadi sebuah gambar besar yang memiliki arti, persepsi tidak hanya tergantung pada stimuli fisik saja, tetapi sangat dipengaruhi oleh adanya konteks situasi dan kondisi yang dimiliki individu secara pribadi. Oleh karena itu untuk memperoleh citra yang diinginkan oleh perusahaan, manajemen harus  memahami secara menyeluruh bagaimana proses seleksi terhadap informasi tentang realitas itu terjadi.
Citra perusahaan akan terbentuk sangat ditunjang oleh kemampuan membangun persepsi audience berdasarkan realitas yang ada.  Persepsi tidak bisa dibangun dengan dasar realitas yang rapuh.  Persepsi, realitas dan citra mempunyai hubungan postif yang tumbuh di atas fondasi kredibilitas. Informasi tentang realitas yang kredibel mendasari terbentuknya persepsi masyarakat terhadap media sehingga pada gilirannya membentuk suatu citra media yang kuat.  Citra pada gilirannya akan menumbuhkan fanatisme dalam arti luas di kalangan masyarakat, seperti: munculnya penonton –penonton setia, fans, dll.
Dalam dunia televisi citra ada untuk menjaring sekaligus melayani penonton. Ia dapat dihadirkan melalui segala program yang disiarkan oleh televisi itu. Stasiun televisi bisa menghadirkan acara yang menarik perhatian dan  sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Kemudian ditentukan kapan disiarkan, apakah sore, siang atau malam. Pemilihan waktu tayang yang tepat tidak kalah penting dengan kontent dari acara tersebut. Hal ini terkait dengan pola kerja masyarakat dimana pada jam-jam tertentu seseorang tidak punya akses ke televisi karena sedang bekerja. Misalnya, untuk acara anak-anak biasanya disiarkan pagi hari, untuk laki-laki biasanya diatas tujuh malam, dan sebagainya. Tim scedulling memegang peranan penting karena dia harus bisa memetakan penonton.
Yang tak kalah penting adalah memperhatikan kebiasaan penonton yang pindah channel. Kalau acara di satu stasiun televisi tidak menarik, dengan mudah dia akan pindah ke stasiun lain dengan cepat, tinggal pencet tombol remote saja.  Media harus pandai-pandai dalam memahami kecenderungan penonton yang mempunyai kebiasaan memilah-milah informasi berdasarkan kepentingan pribadi mereka dengan program-program yang menarik. Seorang ibu rumah tangga tidak mungkin menyukai acara dialog politik yang kaku. Makan kalau yang menjadi sasaran penontonnya adalah ibu rumah tangga, acara jangan dibuat dengan  packaging dialog politik yang kaku.
Proses pemilihan acara yang akan ditayangkan oleh stasiun televisi menjadi proses yang krusial dalam pembangunan citra televisi. Sebuah stasiun yang membidik citra-nya sebagai stasiun televisi educatif, tidak mungkin menayangkan acara yang berkaitan dengan misteri ataupun takhayul. Bagaimana akan dipercaya sebagai stasiun televisi yang ikut mendidik masyarakat kalau yang ditayangkan adalah misteri-misteri yang justru membawa penontonnya set-back ke pemikiran-pemikiran irasional. Penonton dengan mudah akan ganti channel atau bahkan tidak percaya lagi dengan stasiun televisi tersebut sehingga tidak akan pernah mau lagi nonton segala acara di stasiun televisi tersebut. Seharusnya kalau menginginkan citra televisi educatif, stasiun televisi menayangkan acara-acara yang benar-benar mendidik, bukan sebaliknya.
Di sini terlihat, citra televisi tidak pernah lepas dari apa visi dan misi dari pendirian stasiun televisi tersebut; karena pada dasarnya citra adalah konsistensi dari visi dan misi yang telah dicanangkan di awal berdirinya sebuah stasiun televisi.  Kalau visi dan misi stasiun televisi adalah entertainment, jika dilaksanakan dengan benar (artinya segala acara yang disiarkan benar-benar terkait dengan entertainment) maka akan diperoleh sebuah citra entertainment. Jadi sebenarnya citra dapat dibangun dari awal berdirinya sebuah stasiun televisi. Ia tumbuh bersama dengan visi-misi yang dicanangkan kemudian dipupuk oleh pengelolaan program (programming), jam tayang (schedulling)  yang benar, dan tentu saja format tayangan (packaging) yang tepat pula.
Stasiun televisi harus memperhatikan apa yang menjadi program unggulan mereka. Mereka harus menyiapkan  program-program (baik interaktif maupun non interaktif) yang disukai oleh masyarakat sehingga stasiun mereka selalu menjadi piliha pertama begitu penonton menghidupkan televisi. Program-program ini pada gilirannya akan mendongkrak rating karena orang setia menonton acara televisi tertentu. Bagaimana membuat acara yang membuat penonton menjadi serasa ikut memiliki stasiun televisi itu (acara-acara interaktif). Di sini kemampuan untuk menjaga dan membangun komunitas penonton sangat diperlukan. Bagaimana suatu acara dibangun sebagai sebuah lanjutan dari acara-acara yang telah disiarkan sebelumnya. Ada kesinambungan yang mampu menjaga komunitas penonton.

Melalui Public Relation?
Di luar semua yang telah dijelaskan di atas, sebenarnya ada satu jalur lagi dalam membangun citra diri televisi, yaitu dengan memanfaatkan  fungsi Public Relation. Peran ini memang tidak bisa begitu maksimal karena sesuai dengan kaidah penyiaran, televisi tidak bisa menceritakan kehebatannya sendiri melalui televisi mereka sendiri. Tapi televisi masih bisa melakukan banyak hal untuk membangun citra mereka melalui fungsi Public Relation, antara lain:  memanfaatkan media lain (seperti: media cetak, radio, atau internet/website), melakukan reportase kepentingan publik untuk memperoleh simpati publik , mengadakan program off-air,  atau melakukan kerjasama dengan merek lain (Co-branding).
Sebuah stasiun televisi bisa melakukan kerjasama dengan media massa lainnya untuk memperkuat image mereka. Di media cetak, sebuah stasiun televisi bisa membuat iklan-iklan di media cetak untuk menumbuhkan kesan di masyarakat bahwa stasiun tersebut mempunyai citra edukatif, entertainmen, atau yang lainnya.  Iklan-iklan ini dibuat sedemikian rupa sehingga menampilkan citra yang diinginkan dari stasiun televisi itu. Melalui media radio, televisi  bisa bekerjasama menyiarkan suatu acara secara bersamaan. Ini sangat membantu dalam memperluas jangkauan siaran. Misalnya, Liputan 6 SCTV selain bisa dilihat melalui layar kaca, tapi di saat bersamaan bisa di dengarkan di radio Smart FM sehingga orang-orang di tempat-tempat  yang tidak terjangkau oleh siaran SCTV tetap bisa mengakses liputan 6, atau bagi yang sedang mengendarai mobil, tetap bisa mendapatkan informasi dari liputan 6 melalui radio mobil. Sedangkan melalui  internet televisi bisa membangun website yang bisa mendokumentasikan apa yang telah disiarkan sebelumnya. Kemajuan tehnologi, memungkinkan siaran yang telah disiarkan disimpan dan mudah diakses untuk dapat melihat kembali apa yang disiarkan. Ini mempermudah orang yang belum sempat melihat siaran langsungnya. Disamping itu, manajemen juga bisa melakukan intervensi untuk menaikan cintra televisi.
Untuk memperoleh simpati publik, stasiun televisi bisa melakukan reportase besar-besaran dengan mengungkap penemuan-penemuan penting dilapangan yang sifatnya kontroversial. Misalnya, TransTV sangat getol menyiarkan adanya formalin pada tahu dan bakso. Dengan melakukan investigasi yang mendalam dan dilengkapi dengan candid cammera, mengekpose apa yang sebenarnya terjadi dalam pengolahan makanan yang selama ini mungkin menjadi makanan favorite masyarakat Indonesia. Laporan investigasi tersebut sangat menyetuh hati penonton dan menimbulkan simpati yang luas. Stasiun TransTV kemudian dianggap mempunyai citra yang baik karena mempunyai kepedulian dan memperhatikan kepentingan publik.
Program-program off-air menjadi penting karena keingintahuan masyarakat akan apa yang terjadi di balik layar televisi itu seperti apa. Orang  selama ini hanya tahu tentang  tayangan-tayangan yang sudah ditayangkan saja, mereka tidak tahu  bagaimana dan apa yang dilakukan sehingga sebuah acara dapat disiarkan. Stasiun televisi bisa membuat program-program yang menerima kunjungan dari publik ke perusahaan untuk sekedar melihat apa yang terjadi di dalam dunia pertelevisisan.
Stasiun televisi juga bisa memanfaatkan co-branding dengan melakukan kerjasama dengan even-even baik lokal, nasional maupun internasional, entah itu dalam bentuk sponsorship, event organizer, atau yang lainnya. Misalnya, Trans7 memilih menjadi saluran Lega Calcio Serie A Italia melalui kerjasama dengan PT. Djarum sebagai sponsorshipnya, Global TV memilih menjadi saluran Formula 1, RCTI memilih  American Idol, dan lain-lain.

Kesimpulan Sebagai Penutup
Citra adalah seperangkat nilai yang melekat pada televisi. Ia mencerminkan seperti apa sebenarnya stasiun televisi itu bergerak. Apapun yang disiarkan televisi  akan ada dalam benak penonton dan pada gilirannya akan menumbuhkan penilaian terhadap televisi itu sendiri. Seberapun hebatnya sebuah stasiun televisi kalau tidak memperhatikan citra, maka lambat laun stasiun televisi itu akan ditinggalkan. Manusia  sangat kejam dengan remot kontrolnya. Ketika ia sudah tidak suka dengan acara yang ditontonya, ia akan segera memindahkan channel.
Selain kemampuan manajerial yang handal, kiranya pencitraan yang positif dalam masyarakat sangat memegang peranan penting terhadap keberlangsungan media televisi. Kalau sebuah stasiun televisi sudah mendapatkan citra yang negatif, penonton pasti akan sangat mudah meninggalkannya, bahkan mungkin tidak mau lagi menonton semua cara yang disiarkan. Kemampuan menumbuhkan dan menjaga citra televisi sangat dibuthkan pada diri pelaku broadcasting saat ini.
Citra menjadi penting sekali karena keberadaanya menumbuhkan fanatisme di kalangan penonton. Penonton inilah yang sangat penting bagi televisi. Apapun hebatnya sebuah acara, kalau tidak ditonton, ya tidak ada artinya. Pembangunan citra diri televisi sangat penting dan bisa menjadi alternatif manajemen pertelevisian kita.




Daftar Pustaka:
-          Prof. Sasa Djuarsa S. Ph.D, “Teori Komunikasi, Universitas Terbuka”, Jakarta, 2004
-          De Fleur, Melvin L; Ball-Rokeach, Sandra,  “Theories of Mass Communication”, London, 1982

-           Silih Agung Wasesa, “Stragi Public Relation”, Jakarta, 2006

SYSTEM THEORY IN HUMAN COMMUNICATION



 By Cosgathar 
Teori sistem memagang peranan yang sangat penting dalam ilmu komunikasi.  Teori ini memberikan gambaran secara umum tentang komunikasi sebagai sebuah ilmu yang mempunyai persfektifnya sendiri dalam melihat manusia sebagai aktor terpenting dalam kehidupan ini. Bersama dengan dua teori penting lainnya (cybernetic dan teori informasi), teori sistem mampu menjelaskan bagaimana dunia komunikasi  manusia dijalankan. Secara lebih khusus, teori  sistem menjelaskasn bagaimana interaksi diantara elemen dalam sebuah proses besar;  Cybernetic lebih berkaitan dengan bagaimana  control dan regulasi dalam sistem terjadi dan dilakukan;  sedangkan teori informasi lebi fokus kepada pengukuran dan pengiriman dari sinyal yang terjadi dalam komunikasi.
A. Pengertian Teori  Sistem
Teori-teori klasik dan perilaku sering merujuk komunikasi terutama dalam kaitannya dengan bentuk-bentuk kegiatan interaksi sebagai suatu proses yang menghubungkan (a linking process). Katz dan Kahn percaya bahwa struktur sosial berbeda dengan struktur mekanis dan struktur biologis. Entitas-entitas fisik dan biologis seperti mobil dan binatang mempunyai struktur anatomi yang dapat diidentifikasi ketika entitas-entitas itu bahkan tidak sedang berfungsi. Ketika suatu organisme biologis berhenti berfungsi, tubuh fisiknya masih dapat diperiksa lewat pembedahan (postmortem analysis). Bila kita menerima pendapat katz dan Kahn ini, maka peran komunikasi sebagai suatu proses penghubung akan mempunyai arti khusus dan penting.
Saat sebuah sistem sosial berhenti berfungsi, ia tidak lagi mempunyai struktur yang dapat diidentifikasi sebagaimana yang terjadi dalam struktur mekanisa dan biologis. Sistem sosial merupakan sebuah struktur peristiwa yang terlepas dari bagian-bagian fisiknya, dan tidak mempunyai struktur yang terpisah dan kegiatannya. Katz dan Kahn menerangkan bahwa kebanyakan interaksi kita dengan orang merupakan tindakan komunikatif (verbal dan nonverbal, berbicara dan diam). “Komunikasi, pertukaran informasi dan transmisi makna, adalah inti suatu sistem sosial atau suatu organisasi”. Mereka menyatakan bahwa adalah mungkin untuk menggolongkan bentuk-bentuk interaksi sosial seperti “penggunaan pengaruh, kerja sama, penularan sosial atau peniruan, dan kepemimpinan” ke dalam konsep komunikasi. Di sini terlihat peran komunikasi sebagai proses penghubung yang utama dalam organisasi dengan sejumlah proses muncul sebagai akibat dan “berkomunikasi” yang terjadi dalam organisasi. Terlihat pula bagaimana   bentuk-bentuk khusus komunikasi sebagai keterampilan dan kegiatan komunikasi organisasi.
Dalam teori sistem, untuk mencapai tujuan organisasi diperlukan pengenalan  berbagai hambatan komunikasi yang ada. Dengan demikian pelaku komunikasi bisa mengurangi komunikasi acak ke saluran-saluran yang sesuai untuk pencapaian tujuan organisasi. Pengembangan organisasi, misalnya, mungkin perlu menciptakan saluran-saluran komunikasi baru. Katz dan Kahn berpendapat bahwa “watak suatu sistem sosial, mengisyaratkan selektivitas saluran dan tindakan komunikatif, suatu mandat untuk menghindari sebagian saluran dan tindakan komunikatif dan menggunakan yang lainnya”.
Secara lebih sederhana,  Scott (1961) menerangkan bahwa “organisasi terdiri dari bagian-bagian yang berkomunikasi antara yang satu dengan yang lainnya, menerima pesan-pesan dari dunia luar, dan menyimpan informasi. Fungsi komunikasi masing-masing bagiann ini sekaligus merupakan konfigurasi yang menggambarkan sistem secara keseluruhan”. Dari  sudut pandang sistem, komunikasi adalah organisasi.
Little John menerangkan terdapat empat hal untuk menjelaskan tentang sistem, yakni: Pertama  objek, yakni bagian-bagian, elemen-elemen dan variable dalam sebuah sistem.   Kedua  sistem yang terdiri hubungan-hubungan, yakni kualitas atau sifat dari sistem dan objeknya. Ketiga sistem yang mempunyai hubungan internal diantara objek-objeknya. Keempat sistem yang berada didalam lingkungan, yakni sebuah sistem  yang kemudian sesuatu didalamnya mempengaruhi satu sama lain dalam lingkungan dengan bentuk yang berbeda dari bentuk-bentuk yang lain.
Secara umum, sistem sendiri bisa dibagi menjadi dua karakter, yakni sistem tertutup dan sistem terbuka.  Di dalam sistem tertutup tidak ada atau tidak dikenal adanya pertukaran dengan lingkungan. Sebaliknya, dalam sistem terbuka,  terdapat pertukanran dengan lingkungan sekitarnya. Sistem menerima energy dari lingkungannya dan mengikrimkannya kembali energi ke lingkungannya.  Dalam system terbuka sebagai contoh keluarga dimana anggota Dalam keluarga adalah objek-objek. Dan karakter mereka adalah attribute (sifat), sistem keluarga dibentuk oleh intreaksi diantara anggota-anggotanya. Keluarga juga berada dalam lingkungan sosial dan budaya. Keluarga dan lingkungannya mempengaruhi satu sama lain. Pengertian ini yang dinamakan sebagai unit.
            Terdapat beberapa sifat  dalam sebuah  sistem, antara lain: pertama, kesatuan dan saling ketergantungan. Sistem adalah kesatuan yang unik, yakni terdiri dari bentuk-bentuk yang salng berhubungan  yang berbeda-beda dari sistem yang lain. Dalam konsep interdependensi, satu variable kadang-kadang menyebabkan variabbel yang lain. Variable A menyebabkan B dan menyebabkan C dan seterusnya dalam proses sirkular dan kembali lagi ke variabel A.
            Kedua,  Herarki.  Sistem cenderung untuk melekatkan satu dengan yang lain. Maksudnya suatu sistem dalah bagian dari sistem yang lebih besar.  Sistem yang lebih besar kemudian disebut sebagai Suprasystem dan yang lebih kecil di sebut dengan subsistem. Contohnya keluarga, dimana keluarga besar merupakan suprasistem, dimana dirinya merupakan bagian dari sistem yang lebih besar dari masyarakat.  Subsistem dari keluarga besar adalah kelauarga inti, dan subsistem dari keluarga inti terdiri dari ayah, ibu dan anak.  Gambaran ini menunjukkan adanya herarki diantara sistem yang lebih kecil dalam sistem yang lebih besar .
            Ketiga,  pengaturan diri dan control. Banyak sistem yang berfokus pada tujuan dan mengatur perilakunya untuk mencapai suatu tujuan. Keempat, pertukaran dengan lingkungan. Sistem terbuka berinteraksi dengan lingkungan. Dalam kondisi ini mereka memasukan dan mengeluarkan energy ke lingkungan. Kelima, keseimbangan. Sistem akan selalu mencari titik keseimbangan dan selalu memperbaiki diri jika ada subssistem yang mengganggu sistem lain yang akan mempengaruhi sistem yang lebih besar.
            Keenam, kemampuan berubah dan beradaptasi. Sistem harus bisa beradaptasi karena berada dalam lingkungan yang berubah setiap saat. Sehingga selain mempunyai keseimbangan, sistem juga harus mempunyai kemampuan untuk berubah. Dan ketujuh,  Equifinality.  Berarti usaha untuk menyelesaikan dengan cara-cara yang berbeda dan dari permulaan yang berbeda. Dalam sistem adaptasi dapat mencapai tujuan dengan kondisi lingkungan yang berbeda.
B. Teori Informasi
Teori informasi terkait dengan studi kuantitatif dari sinyal-sinyal.  Informasi merupakan sebuah ukuran dari ketidakpastian dalam sebuah situasi, sehingga ketika situasi dapat diprediksi secara lengkap maka informasi tidak ada, kondisi ini dikenal dengan negentropy. Informasi sebagai pilihan-pilihan atau aternatif-alternatif, menyediakan seseorang untuk memprediksi hasilnya. Dengan kata lain seseorang membutuhkan fakta-fakta untuk memprediksi hasil dari situasi yang komplek daripada mempresiksi hasil dari sesuatu yang sedarhana. Sehingga dapat disimpulkan dengan kalimat, informasi lebih dalam sebuah informasi akan membuat pilihan-pilihan lebih banyak dapat diambil dalam situasi. Ada istilah yang dikenal sebagai redudansi, dimana keseluruhan pengaturan dari sebuah kalimat sudah terbentuk dan perbagiannya sudah terprediksi.  Kalimat dalam hal ini mengandung ketidakpastian karena tidak dapat diprediksi dengan tepat secara lengkap.
Teori informasi ini menitikberatkan titik perhatiannya pada sejumlah sinyal yang lewat melalui saluran atau media dalam proses komunikasi. Ini sangat berguna pada pengaplikasian sistem elektrik dewasa ini yang mendesain transmitter, receiver, dan code untuk memudahkan efisiensi informasi.  Jika dianalogikan dengan pesawat telepon, salurannya adalah kabel, sinyalnya adalah arus listrik di dalamnya, dan transmitter dan penerimanya adalah pesawat telepon. Dalam percakapan, mulut adalah transmitternya, sedangkan gelombang suara yang ke luar melalui saluran udara adalah sinyalnya, dan telinga adalah penerimanya.
 Shannon dan Weaver membuat model komunikasi yang dilihat sebagai proses linear yang sangat sederhana. Karakteristik kesederhanaanya ini menonjol dengan jelas. Mereka menyoroti masalah-masalah komunikasi (penyampaian pesan) berdasarkan tingkat kecermatannya.  Sebagaimana yang dipakai dalam teori komunikasi informasi atau matematis, konsep tidak mengacu pada makna, akan tetapi hanya memfokuskan titik perhatiannya pada banyaknya stimulus atau sinyal.
 Konsep dasar dalam teori ini adalah entropi dan redundansi-konsep yang dipinjam dari thermodynamics. Kedua konsep ini saling mempengaruhi dan bersifat sebab akibat (kausatif), di mana entropi akan sangat berpengaruh terhadap redundansi yang timbul dalam proses komunikasi. Entropi adalah konsep keacakan, di mana terdapat suatu keadaan yang tidak dapat dipastikan kemungkinannya. Entropi timbul jika prediktabilitas/kemungkinan rendah (low predictable) dan informasi yang ada tinggi (high information).   Semakin  besar entropi, semakin kecil kemungkinan-kemungkinannya (prediktabilitas). Informasi adalah sebuah ukuran ketidakpastian, atau entropi, dalam sebuah situasi. Semakin besar ketidakpastian, semakin besar informasi yang tersedia dalam proses komunikasi. Ketika sebuah situasi atau keadaan secara lengkap dapat dipastikan kemungkinannya atau dapat diprediksikan (highly predictable), maka informasi tidak ada sama sekali.
Sedangkan redudansi adalah sesuatu yang bisa diramalkan atau diprediksikan (predictable). Karena prediktabilitasnya tinggi (high predictable), maka informasi pun rendah (low information). Fungsi dari redundansi dalam komunikasi menurut Shannon dan Weaver ada dua, yaitu fungsi  yang berkaitan dengan masalah teknis dan yang berkaitan dengan perluasan konsep redundan itu sendiri ke dalam dimensi sosial.
 Redudansi  dapat membantu untuk mengatasi masalah komunikasi praktis. Masalah ini berhubungan dengan akurasi dan kesalahan, dengan saluran dan gangguan, dengan sifat pesan, atau dengan khalayak. Misalnya, ketika kita berkomunikasi melalui pesawat telepon dan mengalami gangguan, mungkin sinyal yang lemah, maka kita akan mengeja huruf dengan ejaan yang telah banyak diketahui umum, seperti charlie untuk C, alpa untuk huruf A, dan seterusnya
            Selain masalah gangguan, redundansi juga membantu mengatasi masalah dalam pentransmisian pesan entropik dalam proses komunikasi. Pesan yang tidak diinginkan atau tidak diharapkan, lebih baik disampaikan lebih dari satu kali, dengan berbagai cara yang sekreatif mungkin.
Fungsi kreatif redundansi  bila dikaitkan dengan khalayak, akan sangat bermanfaat terutama pada persoalan jumlah dan gangguan pesan di dalamnya. Jika pesan yang ingin disampaikan tertuju pada khalayak yang besar dan heterogen, maka pesan tersebut harus memiliki tingkat redundansi yang tinggi, sehingga pesan yang disampaikan akan berhasil dan mudah dicerna. Sebaliknya, jika khalayak berada pada jumlah yang kecil, spesialis, dan homogen, maka pesan yang akan disampaikan akan lebih entropik.
 Contoh dari fungsi redundansi di atas misalnya pada pemaknaan seni populer (popular art) yang lebih redundan dari pada seni bercita rasa tinggi (highbrow art). Hal ini dikarenakan seni populer lebih mudah untuk dicerna dan dipahami oleh banyak khalayak dari pada seni bercita rasa tinggi di mana khalayak yang mengerti hanya beberapa golongan elit saja.
 Selain masalah di atas, konsep redundansi juga bisa diperluas hubungannya dengan konvensi dan hubungan realitas sosial masyarakat. Konvensi adalah menyusun suatu pesan dengan pola-pola yang sama. Pengertian sederhananya dapat dipahami sebagai bentuk baku yang telah umum diterima sebagai pedoman. Sebagai contoh, dalam karya sastra lama ada yang disebut dengan pantun. Pantun merupakan salah satu bentuk karya sastra lama (klasik) yang memiliki karakteristik tersendiri. Cirinya antara lain berpola AB AB, artinya bunyi huruf terakhir dari dua baris terakhir pasti sama dengan bunyi dua huruf terakhir dua baris pertama
C. Tradisi Cybernetic
Cybernetic adalah  kajian dari regulasi dan kontrol dalam sebuah sistem.  Sistem diatur, mencapai tujuan-tujuan dan penuh tujuan. Ini merupakan subyek cybernetic atau kajian tentang feedback. Cybernetics berhubungan dengan cara sebuah sistem mengukur efeknya dan membuat penyesuaian yang dibutuhkan. Ide paling simple dari cybernetic  terdiri dari sebuah sensor, komparator dan activator. Sensor menghasilkan feedback kepada komparator dan kemudian komparator menghasilkan panduan kepada activator yang mengasilkan output yang mempengaruhi lingkungan dengan beberapa cara. Proses dasar dari Output-feedback-adjustment adalah dasar dari cybernetic.
Dalam tradisi sibernetik, komunikasi dipahami sebagai sistem bagian-bagian atau variabel-variabel yang saling mempengaruhi satu sama lainnya, membentuk, serta mengontrol karakter keseluruhan sistem, dan layaknya organisme, menerima keseimbangan dan perubahan. Ide sistem membentuk inti pemikiran sibernetika. Sistem merupakan perangkat komponen-komponen yang saling berinteraksi, yang bersama membentuk sesuatu yang lebih dari sekedar bagian-bagian.
Layaknya sebuah keluarga, semua sistem adalah unik, yang kesemuanya diberi ciri oleh sebuah bentuk hubungan. Bagian apapun dari sebuah sistem selalu dipaksa oleh ketergantungan bagian-bagian lainnya dan bentuk saling ketergantungan inilah yang mengatur sistem itu sendiri. Ini menunjukkan bahwa perbandingan umpan balik sangat akrab dengan diskusi terbuka dibandingkan sistem tertutup dalam pembahasan teori sistem sebelumnya. Respon umpan balik adalah konsep sentral dalam proses komunikasi.
Dalam kajian sibernetika pada sebuah sistem  dikenal dua macam feedback, yaitu negative feedback dan positif feedback atau umpan balik negatif dan umpan balik positif.  Umpan balik negatif  terjadi karena tidak mengidentifikasi bentuk khusus dari panduan, kekurangan atau mengarahkan mengulangi, atau menyediakan bimbingan untuk mengubah kinerja dari tidak bisa diterima diterima. Bahkan jika feedback tidak mengidentifikasi kelemahan tertentu, ia pasif kecuali menyediakan informasi yang membimbing dan mengarahkan modifikasi kinerja yang diinginkan. feedback pasif hanya mengidentifikasi kinerja tidak dapat diterima. Misalnya, jika seorang pekerja menyelesaikan tugas dan supervisor memberikan umpan balik seperti "Tidak, pekerjaan yang tidak benar dan saya tidak akan menerimanya. Lakukan lagi”.
Umpan balik positif memodifikasi dan memperbaiki kinerja; Ini adalah umpan balik formatif hanya dalam minimal cara-mengatakan. seperti penguat umpan balik, umpan balik formatif memerlukan evaluasi mendalam kinerja dan hasilnya dan pelaku. Seorang pekerja berpengalaman umumnya perlu umpan balik kurang rinci formatif aktif dibandingkan pekerja baru yang relatif tidak berpengalaman.
Selanjtunya dikembangkan  sebuah alternatif dari tradisi Cybernetic  sebelumnya, yaitu second order cybernatic. Second order Cybernetic meyakini bahwa peneliti tak dapat melihat bagaimana sebuah system bekerja di luar system itu sendiri karena peneliti selalu diikat secara sibenetika dengan system yang diobservasi. Dalam tradisi ini Claude Shannon mengemukakan bahwa komunikasi merupakan proses informasi, dengan contoh ketika ada telepon masuk. Dan digambarkan dengan persamaan sederhana :
Channel capacity = Information + Noise

D. Komentar & Kritik

Teori sistem menjelaskan dengan  sederhana bagaimana dasar dari sebuah sistem dan aplikasinya dalam proses komunikasi.  Hanya saja contoh-contoh yang berhubungan langsung dengan kasus-kasus komunikasi kurang banyak dimunculkan. Terutama bagaimana proses transmisi informasi dengan kasus-kasus yang terjadi dan dibreakdown secara detail dengan menggunakan teori sistem. Penjelasan tentang cybernetic juga tidak terlalu dalam, dalam prakteknya peresume sulit mencarikan contoh yang ideal untuk menjelaskan berbagai kasus dengan teori ini. Termasuk juga menjelaskan bagaimana apilkasinya dalam sebuah riset dengan pendekatan teori-teori tersebut. Namun meski demikian, teori sistem mampu menjelaskan secara umum dan luas (meski belum dalam) tentang beberapa istilah dan kajian baru dalam dunia komunikasi.