By Cosgathar
Groupthink adalah sebuah situasi dimana terjadi kemerosotan
efisiensi mental, pengujian realitas, dan penilaian moral yang
disebabkan oleh tekanan-tekanan kelompok. Groupthink
menujuk pada suatu mode berfikir
sekelompok orang yang kohesif, mencapai
kebulatan suara dengan
mengesampingkan motivasi mereka
guna menilai alternatif-alternatif
tindakan secara realitas (Janis: 1972). Dalam groupthink, seorang anggota kelompok ‘terpaksa’ untuk sepakat
dengan pendapat kelompok meskipun sebenarnya
ia tidak sepenuhnya setuju dengan
keputusan yang diambil oleh kelompok tersebut. Kelompok yang terpengaruh oleh groupthink akan cenderung mengabaikan alternatif untuk mengambil
tindakan yang irasional kasar dari kelompok lain. Anggapan yang positif terhadap kelompoknya sendiri telah
menyebabkan anggota kelompok melumpuhkan
pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat yang kritis. Hal ini muncul karena
anggota kelompok tersebut biasanya
terlalu loyal dan terlalu kohesif terhadap kelompoknya.
Contoh kasus groupthink
adalah keputusan presiden Soekarno untuk melakukan konfrontasi “Ganyang
Malaysia” tahun 1964. Pada tanggal 29 Agustus 1964, Kuala Lumpur dan
London menumumkan pembentukan Malaysia.
Bung Karno langsung menanggapi nya dengan
mengambil garis keras. Menurutnya, pembentukan negara Malaysia melanggar tiga hal: tidak demokratis,
bertentangan dnegan KTT Manila, dan bertentangan dnegan resolusi dekolonisasi
PBB. Bung Karno kemudian mengumumkan
“ganyang Malaysia” dengan mencanangkan Dwikora (Dwi Komando Rakyat), yaitu:
pertinggi pertahanan revolusi Indonesia dan bantu perjuangan revolusioner
rakyat Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah menghancurkan Malaysia. Maka,
dimulailah aksi-aksi infiltrasi ABRI dan sukarelawan-sukarelawan ke semenanjung
Malaya dan bagian utara Borneo.
Pada waktu itu beberapa elemen dalam pemerintahan
termasuk para petinggi Angkatan Darat tidak setuju dengan ide Soekarno itu.
Beberapa perwira ABRI menilai konfrontasi dengan Malaysia hanya akan
menghabiskan anggaran belanja ABRI. Sementara situasi perekonomian dalam negeri
sangat sulit. Beni Moerdani, perwira penanggungjawab pengiriman infiltran,
mengatakan bahwa program Ganyang Malaysia tidak begitu menguntungkan bagi
Indonesia dilihat dari faktor kesiapan
tempur dan keadaan ekonomi Indonesia; beberapa perwira tinggi ABRI tahu benar
kenyataan itu. Tapi, siapa yang berani melawan keinginan Soekarno? Sosok yang
begitu berpengaruh di pelosok negeri, yang setiap berpidato sanggup
membangkitkan semangat juang seluruh rakyat. Seluruh petinggi negara saat itu
begitu terpukau dengan kredibilitas Soekarno, sang pemimpin besar revolusi.
Mengungkapkan sedikit ketidaksetujuannya terhadap pendapat Bung Karno sama saja
dengan menghadapi sejuta pendukung setianya yang sangat loyal. Bisa-bisa
dianggap sebagai penghianat revolusi.
Di sinilah, lingkaran dekat Soekarno (para penasihat,
petinggi militer, menteri dan para Waperdam-Wakil Perdana Menteri) termakan
oleh groupthink. Diskusi-diskusi
mereka yang langsung dipimpin oleh Soekarno dilandasi oleh suatu derajat
kepaduan dan esprit de corps yang tinggi sehingga melumpuhkan pemikiran-pemikiran dan perbedaan pendapat yang kritis. Kehadiran
tentara Indonesia di Malaysia (dimulai
dengan infiltrasi) diharapkan dapat menumbuhkan semangat juang penduduk Serawak,
Singapura, dan Malaya untuk melawan Inggris sehingga dapat mencegah
terbentuknya federasi Malaysia. Tapi nyatanya misi itu gagal.
Secara umum, faktor-faktor yang mendorong terjadinya groupthink dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: kohesivitas kelompok,
kesalahan struktur dalam organisasi dan konteks situasi provokatif. Ketiga
kelompok suasana inilah yang mendahului munculnya groupthink. Kohesivitas
merunjuk pada kohesivitas sebuah kelompok yang tinggi sehingga masing-masing anggota merasa sudah
menyatu dan sangat padu. Yang termasuk dalam kesalahan struktur organisasi
adalah kelompok yang tertutup - terisolasi dari luar seperti kapsul,
kepemimpinan yang berpihak, tidak adanya aturan prosedur secara metodik, dan
latar belakang kelompok elit yang terlalu homogen. Sedangkan
yang termasuk dalam konteks
situasi provokatif antara lain: tekanan dari luar yang tinggi dan tak ada
solusi yang lebih baik dari pada sang pemimpin, dan penghargaan diri yang
rendah.
Ketika sebuah kelompok berada dalam situasi tersebut,
biasanya kelompok akan melakukan pencarian kesepakatan-kesepakatan dan
kerukunan. Pemimpin kelompok akan
berusaha meminimalisir ketidaksepakatan
anggotanya. Konflik ditekan sedemikian rupa sehingga akan muncul konsekuensi
berupa groupthink. Yang perlu dicatat, tidak semua keputusan yang
diambil dalam keadaan groupthink akan menghasilkan keputusan yang buruk. Dalam
kondisi tertentu, keputusan yang diambil
dalam suasanan groupthink justru
sangat tepat dan dibutuhkan.
Terjadinya groupthink
ditandai dengan beberapa gejala yang dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe,
yaitu: I. Overestimation of the group (merasa paling hebat), II. Closed-mindedness
(pikiran yang picik), III. Pressures
toward uniformity (menekankan keselarasan).
Yang termasuk dalam Overestimation
of the group adalah Illution of
invulnerability (ilusi kekebalan, yang merupakan optimisme yang berlebihan
yang ditandai dengan munculnya perasaan
tidak bersalah. Biasanya anggota cenderung mengabaikan bahaya dan mengambil risiko ekstrim) dan Belief in inherent morality of the group
(kepercayaan akan superioritas moral kelompok, dimana anggota percaya keputusan
mereka adalah benar secara moral, mengabaikan etika konsekuensi dari keputusan
mereka). Sedangkan yang termasuk dalam Closed-mindednesss
adalah Colective rationalization
(rasionalisasi atas tindakan yang diputuskan, ditandai dengan mencari
pembenaran ketika dikritik) dan stereotypes
of out-groups (membuat stereotip negatif tentang kelompok-kelompok
luar sebagai jahat, lemah, dan bodoh). Dan yang termasuk dalam
tipe Pressure toward uniformity
antara lain: self cencorship (sensor
diri), illusion of unanimity (ilusi
persetujuan dan kebulatan suara, yang memandang semua anggota mengamini
keputusan kelompok, yang ‘diam’ diangga menyetujui keputusan), direct pressure on dissenters (tekanan
langsung kepada angota kelompok yang berbeda pendapat/ membangkang, oposisi
dilihat sebagai ketidaksetiaan), dan self-appointed
mindguards (munculnya pembela-pembela kputusan atas inisiatif sendiri untuk melindungi kelompok dan pemimpin dari pendapat yang merugikan, informasi yang tidak
diiinginkan, dan kritik. Gejala-gejala tersebut saling berkaitan dan menunjang
satu sama lainnya.
Ketika
melakukan pengambilan keputusan, anggota kelompok biasanya mempunyai ilusi
kekebalan, suatu keyakinan bahwa kegagalan itu tak mungkin terjadi. Hal ini
menyebabkan mereka cenderung mengabaikan informasi-informasi yang membangkitkan perhatian terhadap bahaya yang
mungkin terjadi. Dalam kasus ini, Soekarno dan lingkaran mengabaikan bahwa
tentara Inggris telah bersiap dengan 80.000
pasukannya di perbatasan. Soekarno juga tidak begitu memperhitungkan apa
komentar dan kecaman dari negara-negara asing terhadap tindakan menyerang
Malaysia yang justru akan memberikan cap Indonesia sebagai negara agresor, penjajah baru.
Menurut Beni Moerdani, sebenarnya posisi ABRI selama
berlangsungnya kebijakan Ganyang Malaysia serba sulit. Mereka merasa harus
mendukung setiap implementasi kebijakan
politik luar negeri yang diambil oleh Soekarno.
Kebijakan yang dilandasi anggapan
bahwa Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara, membawa implikasi ABRI
harus mampu berperan dalam percaturan politik dunia. Namun di sisi lain, pimpinan ABRI sangat
sadar bahwa musuh yang dihadapi sangat kuat. Pasukan Inggris dibantu oleh
Australia dan Selandia Baru, yang sejak awal berjanaji akan mempertahankan
Malaysia. Kalau sampai terjadi perang terbuka mungkin Indonesia kalah, tapi
kalau menerapkan perang gerilya kemungkinan besar kita masih bisa bertahan.
Oleh
karena itu, para petinggi militer sebenarnya telah memberikan peringatan kepada
Soekarno, tapi Soekarno tetap pada keputusannya. Tapi karena peringatan itu
tidak bisa diabaikan seluruhnya, Soekarno dan lingkaran dekatnya melakukan
rasionalisasi, sebagai sebuah mekanisme
pertahanan yangmemungkinkan
mereka mendistorsi informasi yang
tidak dikehendaki.
Gejala
lain dari groupthink yang nampak
dalam ‘Ganyang Malaysia’ adalah kepercayaan terhadap superioritas kelompok.
Kelompok Soekarno mereasa mereka sebagai agen-agen kebajikan yang berkewajiban
membebaskan rakyat Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah dari belenggu
neo-kolonialisme (nekolim). Mereka
menganggap diri mereka bermoral luar biasa, sampai-sampai mereka tak segan melakukan tindakan ofensif, seperti
infiltrasi dan penyerbuan ke
wilayah-wilayah Malaysia dan Singapura.
Soekarno pun mempunyai stereotif-stereotif
terhadap kelompok musuh atau saingan. Soekarno menyebut Inggris dan
negara bentukannya, Malaysia sebagai nekolim dan antek-antek nekolim.
Tekanan-tekanan
langsung juga dialami kelompok Soekarno. Jenderal Ahmad Yani (Men PangAD)
mengakui sekalipun secara pribadi ia tidak setuju dengan kebijakan ‘Ganyang
Malaysia’, ia tidak punya kuasa untuk menghentikan kebijakan itu. Dengan
demikian Yani dan kelompoknya melakukan sensor diri yang memungkinkan kelompok mempunyai ilusi
kebulatan suara sehingga setiap anggota kelompok hanya dapat berdiam diri. Layalitas dan kekaguman anggota lingkaran
dalam Soekarno terhadap wibawa, though,
dan kepopuleran Soekarno mampu memperkuat ilusi persetujuan dan kebulatan suara
tersebut.
Dalam
lingkaran dalam Soekarno juga terdapat mindguards
yang menetralisir setia keraguan yang
muncul. Orang-orang seperti Subandrio (Menlu) dan DN. Aidit (Waperdam) adalah
tokoh-tokoh pembela Soekarno yang senantias berusaha meyakinkan anggota-anggota lainnya untuk setuju dengan
keputusan kelompok. Aidit bahkan siap menyediakan sukarewan-sukarewan dari
partainya yang akan membantu militer menyusup ke Malaysia.
Melihat
apa yang telah saya uraikan di atas,
terlihat jelas bahwa kebijakan ‘Ganyang
Malaysia’ yang di keluarkan oleh Bung Karno sebagai reaksi terhadap dibentuknya
federasi Malaysia oleh Inggris, merupakan pengaruh dari groupthink. Gejala-gejala yang sebutkan Janis sebagai gejala groupthink muncul dalam proses
pengambilan kebijakan Ganyang malaysia oleh Soekarno.
Untuk mencegah terjadinya keputusan atau tindakan
yang negatif dalam groupthink, maka
yang paling utama perlu diketahui oleh kelompok adalah mengetahui penyebab dan
konsekuensi dari grupthink. Selain
itu, Groupthink bisa dihindari apabila The leader
should be neutral when assigning a decision-making task to a group, initially
witholding all preferences and expectations. para pemimpin bersikap
netral ketika memberikan sebuah keputusan tugas ke grup, awalnya witholding semua preferensi dan harapan.
This practice will be especially effective if the
leaders consistently encourages an atmosphere of open inquiry. Praktek
ini akan dirasakan sangat efektif jika pemimpin secara konsisten mendorong
suasana terbuka pertanyaan. Para pemimpin harus memberikan prioritas tinggi
untuk pernyataan keberatan dan
meragukan, dan yang akan menerima kritikan. Kelompok harus selalu
mempertimbangkan pendapat tidak populer alternatif dengan menempatkan peran devil's advocate kuat dari beberapa anggota kelompok (meskipun
mereka sebenarnya setuju). Kadang-kadang sangat berguna untuk membagi kelompok menjadi
dua kelompok terpisah sebagai badan penasihat
dan evaluasi. Melakukan survei terhadap semua peringatan atau
informasi-informasi dari saingan grup dan organisasi. Keputusan-keputusan yang
diambil dilakukan secara bertahap, tidak sekaligus. Mengundang ahli-ahli
dari luar untuk memberikan
masukan-masukan penting sebelum memutuskan suatu kebijakan.
Kritik
terhadap teori ini adalah bahwa Janis menguji hipotesis groupthink di
laboratorium sebelum mengujinya di lapangan. Di laboratorium akan sangat sulit
mengetahui tingkat cohesiveness yang
ada dalam suatu kelompok. Disamping itu, Janis tidak menyebutkan kriteria spesifik untuk
groupthink asli sehingga sulit untuk
mengujinya. Namun, saat ini beberapa peneliti telah berusaha untuk
mengembangkan skala untuk menguji
groupthink.
Lalu, apa relevansi teori ini dalam konteks Indonesia? Mempelajari groupthink akan membuka wawasan kita mengenai proses pengambilan keputusan-keputusan penting terjadi. Kita bisa mempelajari dan mengetahui sejauh mana kohevisitas kelompok mempengaruhi keputusan kelompok tersebut. Bagaimana kelompok-kelompok kohesif membuat keputusan-keputusan yang keliru dan lain-lain. Dengan demikian, kita bisa mempelajari bagaimana sebuah keputusan akhirnya diputuskan. Banyak keputusan penting di Indonesia yang sebenarnya terpengaruh oleh groupthink. Hal ini tidak lepas dari budaya kita yang cenderung paternalistik dimana kelompok menempatkan sang patron sebagai orang yang “lebih” dari anggota lainnya. Konsekuensinya, apapun yang dikatakan sang patron adalah benar. Berbeda pendapat dengan sang patron bisa diartikan merongrong atau berkhianat.
Lalu, apa relevansi teori ini dalam konteks Indonesia? Mempelajari groupthink akan membuka wawasan kita mengenai proses pengambilan keputusan-keputusan penting terjadi. Kita bisa mempelajari dan mengetahui sejauh mana kohevisitas kelompok mempengaruhi keputusan kelompok tersebut. Bagaimana kelompok-kelompok kohesif membuat keputusan-keputusan yang keliru dan lain-lain. Dengan demikian, kita bisa mempelajari bagaimana sebuah keputusan akhirnya diputuskan. Banyak keputusan penting di Indonesia yang sebenarnya terpengaruh oleh groupthink. Hal ini tidak lepas dari budaya kita yang cenderung paternalistik dimana kelompok menempatkan sang patron sebagai orang yang “lebih” dari anggota lainnya. Konsekuensinya, apapun yang dikatakan sang patron adalah benar. Berbeda pendapat dengan sang patron bisa diartikan merongrong atau berkhianat.
Daftar Pustaka:
-
Irving Janis, Groupthink, 2d ed., Houghton Mifflin,
Boston, 1982.
-
Griffin, EM, A First Look At Communication Theory,
6th ed., Mc Graw Hill, New York, 2006
-
Mulyana, Dedy, Nuansa-Nuansa Komunikasi, bandung, 1999
-
Pour, Julius, Beny, Tragedy Seorang Loyalis, KATA,
Jakarta, 2007